Oleh: Topan Aribowo Soesanto, Literasi Sisi.
Masa di mana kecanggihan teknologi menjadi tolak ukur dari sebuah kemajuan peradaban. Baik bernegara, berbangsa dan tatanan kerumahtanggaan. Kata demokrasi begitu akrab lekat di setiap sesi obrolan, baik di warung kopi bahkan merambah sampai hotel berbintang lima. Semua mengambil bagian dalam mengartikan kata atau istilah demokrasi itu sendiri. Seolah menjadi sanjungan bagi akademisi di bidang politik. Birokrasi.
Primadona di jagat politik, sosial, ekonomi dan budaya. Perbincangan lintas profesi, agama, intelektual, strata sosial dan ekonomi. Selalu menjadi bahan obrolan yang menarik untuk dibahas walaupun beda meja dan ruangan. Sensitivitas demokrasi semakin terasa ketika sampai pada tema kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Semakin terlihat kabur dan remang-remang jika itu semua dibalut oleh kekuasaan yang dalam menjalankannya menaruhkan semua kepentingan dan cara yang kurang rasional yang tidak pro kepada rakyat.
Begitu hebatnya istilah ini melekat di setiap benak kita. Mungkin kita sepakat seberapa kita sering mendengar kata itu di bangku sekolah. Hingga pada akhirnya tidak ada kekuatan pada tataran pelaksanannya di masyarakat. Nyaris hilang ketika falsafah itu habis di jalan tanpa adanya penguatan makna ideologis yang harusnya bisa memberikan kekuatan. Demokrasi menjadi bagian landasan ideologis bangsa yang tumbuh besar dengan sikap gotong royong, musyawarah untuk mufakat bukan dengan hanya kebijakan kepura-puraan dengan dalih menghilangkan stigma ‘anti demokrasi’ yang meruntuhkan suatu bangsa.
Demokrasi bukan hanya menandakan adanya suatu bangsa dan menjadi rujukan standar keberadaannya. Di mana secara filosofi sering dimaknai sebagai cara pandang hidup, sistem birokrasi, bahkan menjadi ‘kultus’ bagi sebagian pakar politik yang nyambi sekaligus menjadi rakyat itu sendiri. Tentu ini akan membuat informasi yang semakin tidak jelas dan sedikit kikuk ideal – ideologis dan real – pragmatis dalam pemahamannya. Demokrasi adalah buah dari kebijakan yang mengedepankan kepentingan rakyat melalui musyawarah untuk mufakat, bukan sebaliknya.
Peran suara rakyat yang harus menjadi acuan setiap mengambil kebijakan untuk kebijaksanaan dalam penerapannya. Ini menjadi tugas berat ketika pengawasan parlemen lemah karena dominasi kepentingan dan kekuasaan. Demokrasi hanya sekedar arca dalam ruang bernegara dan berbangsa. Demokrasi akan hidup jika ada keselarasan antara rakyat miskin dengan tuannya.
Keberpihakan, keterbukaan, kepastian dan keharmonisan. Ini menjadi landasan berjalannya demokrasi masyarakat, bukan hanya diksi yang seolah menjadi ritual kenegaraan saja. Mari kita kawal bersama makna dari demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang tidak melihat sebelah mata saja. Demokrasi yang hanya polesan kebijakan yang katanya pro-rakyat tetapi jauh dari harapan sebenarnya. Semoga ini menjadi cambuk keras bagi pemangku kebijakan di tengah pandemi seperti ini harus bisa memberikan rasa tenang hak warga negara dalam menikmati kemerdekaan ini.