
Sebut saja namanya Asep. Sekitar bulan Januari-Februari, setiap hari gawainya selalu dia gunakan buat mengupdate informasi pemberitaan Corona yang saat itu sedang merebak di Wuhan Cina. Makin hari pemberitaan tentang Corona makin mengkhawatirkan. Sudah menyebar ke luar Cina dan tembus angka puluhan ribu, melewati jumlah kasus yang terjadi pada wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) awal dekade 2000-an lalu di Hongkong.
Masih jelas dalam ingatan, wabah SARS dulu sempat mengguncang media. Asep yang kala itu masih duduk di bangku SMP ingat betul kalau negara seperti Hongkong dan Singapura jadi buah bibir banyak orang dewasa di kampung. Saat SARS jadi headline di media-media dalam negeri saja hebohnya bukan main. Dia masih ingat perkataan kakaknya yang melarang main ke pusat perbelanjaan modern karena takut wabah SARS.
Apalagi virus Corona di zaman sekarang yang penyebarannya sangat cepat. Murahnya tiket pesawat, era sosial media, munculnya banyak kelas menengah baru yang lebih suka ke luar negeri di tambah makin seringnya dia lihat tenaga kerja asing dari Cina, India hingga bule keluar-masuk pabrik di kota industri semakin membikinnya khawatir.
Tak terbayangkan kalau Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) masuk Indonesia. Di negara maju seperti Cina atau Amerika yang struktur kotanya sudah modern, yang sering dia lihat di film-film biasanya dibangun di tengah padang gurun atau hutan luas tak berpenghuni saja penyebaran bisa sangat masif. Apalagi di Indonesia, utamanya di pulau Jawa yang struktur kotanya masih semrawut. Tumpang-tindih pembangunan, kepadatan penduduk di wilayah kumuh, sistem pengelolaan sampah dan limbah yang buruk, transportasi publik yang belum semuanya baik, jaringan jalan dan sarana pendukungnya yang terkadang bikin macet sampai banyaknya jalan penghubung macam jalan tikus sepertinya akan menyulitkan buat lockdown.
Tapi itu hanya dalam imajinasi Asep saja yang menilai tanpa kajian dan riset bahwa menerapkan lockdown di Jabodetabek begitu sulit. Kalau pun Corona masuk Jakarta, sudah seharusnya wilayah seperti Balaraja di barat sampai Cikarang di timur, atau Tanjung Priok di utara sampai Bogor di selatan dihentikan sementara aktivitasnya. Negara harus mengerahkan ratusan ribu personel gabungan TNI-Polri buat melakukan pengetatan aktivitas keluar-masuk manusia di zona merah dan zona kuning sebelum terlambat dan menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Maret tiba, akhirnya apa yang dikhawatirkan Asep terjadi juga. Corona masuk Indonesia. Depok jadi kota pertama yang mengonfirmasi kasus positif Corona. Di awal-awal pemberitaan mengenai Corona yang hingar-bingar di televisi, Asep parno bukan main. Dia khawatir imunitas tubuhnya tidak mampu melawan Corona. Dia khawatir pada keluarganya, pada abahnya, usia sudah 66 tahun yang katanya rentan terhadap Corona. Dia juga khawatir ekonomi akan lesu, akan terjadi penjarahan sana-sini, yang akan berdampak pada susahnya memenuhi keinginan perut.
Asep sendiri hanyalah buruh serabutan yang cari nafkah di pinggir kota industri. Istri dan anaknya yang masih bayi dia biarkan di kampung yang berjarak sekira 70 kilometer dari kota industri. Bukan tanpa alasan, setidaknya dengan hidup di kampung, istri dan anaknya bisa mendapat fasilitas udara segar setiap hari, selain tentu biaya hidup yang lebih murah.
Sebelum Corona masuk Indonesia, biasanya setiap seminggu sekali dia pulang ke kampung, melepas rindu dengan anak istri sambil membawa sedikit rezeki. Tapi tidak setelah Corona tiba, terlebih corona diberitakan masuk Jakarta dan Tangerang, kota tempat dia mencari nafkah. Pasca makin hebohnya pemberitaan corona, tiga minggu sudah dia tak pulang. Rela menahan rindu kepada anak istri karena khawatir membawa wabah ke kampung.
Waktu terus berjalan, pemberitaan tentang Corona makin heboh di media-media. Banyak pejabat, simpatisan partai, ketua Ormas sampai Ketua RW ramai-ramai bikin baliho tentang pencegahan Corona dengan latar belakang poto close-up mereka yang humanis. Anggaran negara sudah mulai dialihkan untuk pemberantasan wabah. Bermilyar-milyar rupiah, bahkan mungkin triliunan.
Sebagian anak manusia yang punya jiwa dagang memanfaatkan kesempatan wabah ini dengan berbisnis masker, disinfektan dan hand sanitizer. Sebagian lainnya sibuk berlomba berbuat kebaikan membantu si miskin dan kalangan akar rumput yang mayoritas diisi ojol rekanan perusahaan start-up yang sudah bernilai milyaran dollar. Sebagian kecil lainnya yang jadi orang gila tetap saja gila, compang-camping kadang telanjang hilir mudik di pinggiran jalanan kota.
Banyak usaha kecil yang kolap hingga terpaksa memecat buruh-buruhnya. Banyak juga pengusaha yang tetap kaya raya aji mumpung ikut-ikutan memecat buruhnya dengan alasan Corona, biar semakin sedikit biaya yang dikeluarkan perusahaan karena tak perlu beri pesangon atau tunjangan lainnya.
Karena rasa rindu pada keluarga yang semakin memuncak, pada akhirnya Asep memutuskan untuk pulang kampung, eh mudik, ah sama saja, persetan dengan perdebatan pulang kampung dan mudik. Di tengah himbauan agar orang dari zona merah tak boleh bepergian, dia tetap memaksakan diri buat pergi. Dia adalah salah satu bagian orang yang dihina-hina di videonya dr. Tirta karena melanggar aturan, karena ngeyel.
Dengan motor metiknya, Asep melaju. Dari kota industri menuju ke arah selatan. Ke arah dimana gunung-gunung yang selalu tertutup halimun berbaris. Ke sebuah desa yang hijau, yang hidup rukun tentram damai karena belas kasih alam.
Di sepanjang perjalanan Asep beberapa kali diberhentikan. Sekedar untuk dicek suhu tubuh, cuci tangan dan pakai masker dengan benar. Di perbatasan Bogor dan Lebak, dia juga diberhentikan.
“Habis dari Leuwiliang pak, ambil paket buat jualan. Kalau rumah sih itu, di Gajrug,” ujar Asep berbohong biar bisa lolos pemeriksaan di checkpoint.
“Cuci tangan dulu, pake maskernya. Trus ke sana buat cek suhu!” perintah pak polisi mengarahkan ke pos pemeriksaan.
Di kejauhan, Asep melihat motornya disemprot cairan disinfektan. Juga kendaraan milik pengendara lain. Motor, mobil pribadi, angkot, losbak, sampai kolt desel bermuatan ayam pun tak luput dari semprotan disinfektan.
Di pos pemeriksaan, Asep hanya ditanya, dari mana mau ke mana. Pikirnya pemeriksaan ini seperti di Korea yang punya tes cepat (rapid test) kepada banyak rakyatnya. Ah janganlah mengkhayal. Meskipun tak dikorupsi, APBN negara ini tetap saja tak akan sekuat APBN negeri para oppa.
Berbulan-bulan berlalu setelah kasus pertama Corona terdeteksi, Asep mulai bosan dengan pemberitaan wabah itu. Data terakhir virus itu sudah menyebar ke lebih 40 ribu jiwa di dalam negeri. Sambil menghela nafas, dia merenung, Ya Rabbi, kapan ini semua akan berakhir?
Kini Asep menghadapi zaman yang disebut new normal. Zaman yang menurut pemerintah setiap masyarakat harus hidup berdampingan dengan virus Corona. Selama mematuhi protokol yang ada, masyarakat akan hidup aman. Masyarakat harus mau turut serta menerapkan pola hidup sehat, pakai masker, dan jaga jarak supaya penyebaran wabah ini tidak meluas sehingga ekonomi tetap berjalan dan investasi para pemilik modal tidak pergi. Ya termasuk masyarakat golongan bawah tentu juga harus makin kreatif mencari tambahan biaya untuk menutupi anggaran biaya hidup sehat di era new normal ini.
Masyarakat dihimbau jangan panik di tengah angka-angka penularan yang sudah masuk seribuan setiap harinya. Selama menerapkan protokol dari pemerintah pasti akan aman. Saking amannya, bahkan dr. Tirta sempat turut serta menerapkan new normal di salah satu perusahaan penyedia makanan, miras, dan jasa dugem. Terlihat dalam foto di sosmed perusahaan itu, dr. Tirta hepi mengenakan masker ajeb-ajeb have fun bersama kawan. Ah manusiawi memang.
Entahlah, yang jelas bagi Asep di era new normal ini penggunaan masker akan sama pentingnya dengan kebergunaan sempak. Meski banyak juga yang tidak suka pakai sempak. Dan tentu saja, dia harus makin kreatif sebagai buruh serabutan biar pundi-pundi penghasilan tetap mengalir di tengah harga-harga yang selalu naik setiap tahun.
Tuhan, kuatkanlah selalu imun hamba dan keluarga, doanya dalam hati setiap hendak pergi mengais rezeki ke zona merah.