Kalau sedang mencari tempat wisata alternatif yang alamnya masih perawan, yang jaraknya gak jauh-jauh amat dari ibukota, yang murah meriah, datanglah ke Curug Pancuran di Kampung Cibarani Desa Lebaksangka Kecamatan Lebakgedong, Lebak. Curug setinggi kurang lebih 15 meter tersebut akan membantu menghapus segala keruwetan dalam pikiran. Setidaknya bisa melupakan sejenak deadline kerjaan yang menumpuk.
Untuk menuju Curug Pancuran dari ibukota, cari saja di Google Maps jalan menuju Kecamatan Cipanas, Lebak. Dari kecamatan yang terkenal dengan pemandian air panasnya itu, pertama bisa melalui jalan provinsi Cipanas-Warungbanten atau lebih tenar disebut jalur Citorek. Tapi jangan sampai bablas ke Citorek, bertanyalah kepada warga setempat jalan menuju Kampung Padurung jika sudah bertemu Puskesmas Lebakgedong. Dari Kampung Padurung, bertanyalah lagi jalan menuju Kampung Cibarani.
Saya sendiri memilih rute kedua, dari Kecamatan Cipanas mengambil jalan ke Pasar Gajrug-Pertigaan Kadubitung-Kampung Cigebrok. Meski Google Maps bisa menunjukan lokasi curugnya, biar Haqqul Yaqin, setelah tiba di Cigebrok bertanyalah kepada warga setempat jalan menuju Kampung Cibarani. Intinya perbanyaklah bertanya, malu bertanya sesat di jalan.
Sebetulnya saya enggan menjelaskan rute menuju curug tersebut, karena sesungguhnya sudah saya tambahkan ke dalam Google Maps dengan nama Curug Cibarani (mohon diperbaharui jika titik koordinat kurang akurat). Tapi tak mengapa, toh tulisan ini butuh lebih banyak kata biar memenuhi pedoman penulisan di media ini. Tulisan tentang tempat piknik tanpa informasi rutenya tentu seperti sayur asem tanpa asem jawa bukan?
Kondisi jalan dari Cigebrok ke Cibarani sungguh sangat di luar dugaan. Dalam Google Maps dikatakan bahwa jalan bisa dilalui kendaraan roda empat, tapi faktanya cuma jalan setapak dengan kondisi seadanya. Butuh betis ala atlit kalau ingin melaluinya dengan sepeda. Sedang kalau memilih melalui dengan motor bebek metik tanpa mode trail, sepertinya diperlukan pelatihan terlebih dahulu ke warga Kampung Cibarani tentang tata cara penggunaan sepeda motor bebek metik melalui jalan sempit, menanjak, terjal dan berliku.
Tapi jangan dulu ciut nyali, karena kondisi alam saat perjalanan dari Cigebrok ke Cibarani akan jadi suguhan sangat menarik. Seperti di dalam lukisan alam khas pelukis Indonesia, Anda bisa melihat hamparan terasering sawah yang terlihat begitu hijau lengkap dengan saluran irigasi berair jernih, dengan latar belakang gunung-gunung. Sawah-sawah tersebut berbatasan langsung dengan kebun dan hutan di kejauhan yang akan membuat mulut mengagungkan nama Tuhan, ya itu kalau Anda percaya Tuhan. Tapi meski tak percaya Tuhan, Anda pasti akan tetap takjub, terlebih kalau sehari-hari punya rutinitas di kota berhutan beton.
Kalau masih tidak percaya dengan kondisi alam yang menakjubkan seperti itu, coba saja tonton salah satu video Ibnu Jamil di YouTube Channelnya. Saya juga kaget dan tentu saja salut, artis semacam Ibnu Jamil mau berkunjung ke Cibarani, juga ke Cigebrok.
Tidak seperti Ibnu Jamil yang ngetrail ria melewati jalan Kampung Cibarani ke Cigebrok. Saya bersama kawan-kawan justru memilih berjalan kaki dari Kampung Cigebrok ke Cibarani. Sekira 7 tanjakan kami lewati. Keringat tentu bukan hanya membasahi bagian ketiak baju, seluruh baju basah keringat, mandi keringat. Setelah memakan waktu hampir 50 menit, tibalah di Kampung Cibarani. Hanya ada satu kata setelah tiba di Cibarani, Terpencil.
Sempat saya bertanya kepada Kadut, teman dari Kampung Cigebrok yang menjadi tour guide dadakan kala itu. Tentang bagaimana kalau warga Cibarani butuh penanganan Puskesmas atau Rumah Sakit?
“Ya naik mobilnya di Cigebrok. Dari Cigebrok ke Cibarani digotong,” ujar Kadut yang kala itu juga baru pertama kali berjalan kaki ke Cibarani.
Setelah sejenak beristirahat di sebuah warung, perjalanan dilanjut ke Curug Pancuran. Lagi-lagi Kadut, tour guide dadakan kami ternyata juga belum pernah ke curug tersebut. Anjay memang si Kadut ini! Semoga Tuhan memaafkan segala dosa-dosanya, ya itu pun kalau dia percaya Tuhan. Akhirnya seperti saran saya di atas, malu bertanya sesat di jalan. Setelah bertanya kepada warga sekitar, ternyata persimpangan menuju ke curug sudah terlewat.
Memang tidak ada plang sama sekali yang memberi titik terang keberadaan Curug Pancuran. Bermodal informasi persimpangan di kebun karet menuju curug, kami ikuti saja jalan setapak. Dengan feeling dan semangat seperti para petualang di My Trip My Adventure yang mencari jejak tempat piknik tersembunyi, bedanya badan kami tidak mulus dan kekar, kami yakin jalan yang kami ikuti adalah benar.
Beruntunglah diri ini masih punya separuh jiwa petualang. Karena kalau cuma punya jiwa manja, sudah barang tentu enggan melanjutkan perjalanan. Kondisi menuju curug ternyata berada di bawah, harus melewati tebing curam dengan sangat sempit jalan setapak yang dilalui. Kalau tidak hati-hati, jurang di depan mata bisa saja menjadi santapan. Suasana hutan yang sangat sepi karena kami berkunjung jam tiga sore ditambah langit mendung semakin membuat hawa tidak enak menjadi-jadi.
Setelah menempuh 15 menit dari persimpangan, akhirnya kami tiba di Curug Pancuran. Sepi, tidak ada pengunjung selain kami. Hanya terdengar suara keras air berjatuhan dengan sesekali angin dan hawa dingin yang kata sebagian teman terasa mistis.
Seperti namanya, Curug Pancuran memancurkan air dengan cukup deras. Terus-menerus memancur di tengah keterpencilan. Mungkin kalau di hulu hujan, pasti pancurannya akan sangat deras. Airnya begitu jernih dan dingin. Dari 7 orang dalam rombongan, termasuk saya tidak ada yang berani menginjakan kaki di leuwi curug (area jatuhnya air). Akhirnya kami hanya berfoto saja di tepian, jauh dari tempat jatuhnya air sambil merendamkan kaki dan membasuh muka.
Melihat ke bawah dari batu besar yang kami pijaki, ternyata masih ada curug. Si Kadut bilang, masih ada 6 curug lagi tersebar baik di atas maupun di bawah. Sebab itu curug di Kampung Cibarani ini juga punya sebutan Curug 7 Cibarani. Cuma memang sayang, karena keterpencilan akses membuatnya belum bisa dikelola secara maksimal.
Karena hari semakin gelap, mendung sepertinya akan menurunkan hujan, kami bergegas kembali ke atas. Selalu berharap hujan deras jangan dulu turun. Kalau sampai turun, Bisa-bisa kami tidak dapat naik karena melewati tebing bebatuan lembab yang sepertinya menjadi sungai kalau hujan tiba. Butuh tenaga tambahan setelah tenaga habis karena perjalanan dari Cigebrok ke Cibarani.
Pada akhirnya dengan tekad kuat ingin kembali ke rumah, akhirnya tenaga cadangan bisa terkumpul meski dengan keterpaksaan. Sesekali saya sempat terjatuh karena sudah tak kuat menggerakan kaki. Betis dan dengkul terasa mau copot dari paha. Kami pun tiba di sebuah saung di tengah perkebunan karet dengan baju basah kuyup karena keringat dan air hujan yang sudah turun di tengah perjalanan.
Untuk menghilangkan rasa dingin dan lelah, kami menyalakan api dengan ranting-ranting yang berserakan di saung. Menyalakan beberapa batang udud bagi para pengudud sambil menikmati bekal biskuit yang dibawa. Menunggu hujan reda dengan cerita-cerita mistis seperti legenda ular sebesar pohon kelapa yang katanya menjadi penghuni curug.
Perjalanan ke Curug Pancuran Cibarani menjadi salah satu pengalaman berharga buat saya. Sebagai seorang yang tidak suka naik gunung, sebagai seorang perokok, alam di sana yang sangat menawan mengajarkan saya agar tidak sombong dan tidak mengolok-ngolok orang yang tidak merokok. Juga supaya tidak underestimate pada orang-orang yang hobi mendaki gunung dan ngopi di atas hamparan awan-awan. Karena saya akui, mendaki beberapa ratus meter saja sudah terasa sangat melelahkan. Penuh perjuangan.
Akhir cerita, buat Anda yang ingin berkunjung ke Curug Pancuran Cibarani pastikan mental dan fisik yang kuat. Dan carilah hari yang tepat seperti pagi hari yang cerah di musim liburan agar tidak sendiri. Atau gunakan guide warga lokal supaya keselamatan dan keamanan lebih terjamin. Buat para pecinta tantangan, Curug Pancuran wajib dikunjungi.
Selamat berlibur.