Picung atau kepayang, memiliki nama latin Pangium edule ini merupakan tumbuhan berbuah memabukan. Pohonnya bisa tumbuh tinggi hingga puluhan meter. Meski memabukan, orang-orang di Nusantara sudah sejak lama menjadikan picung sebagai bagian dari tradisi kuliner turun-temurun.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tumbuhan ini disebut kluwek yang bijinya biasa digunakan untuk bumbu rawon. Biji kluwek yang dijual di pasaran telah melewati proses panjang mulai dari perendaman, perebusan hingga dikubur dalam abu. Kalau di daerah Priangan seperti di Sumedang misalnya, picung biasanya menjadi hidangan lauk makan dengan cara ditumis.
Sedang di Lebak Banten, terdapat juga olahan dari picung yang menarik perhatian. Olahan tersebut bernama kotok bongkok. Saya tidak berhasil menemukan jawaban mengapa olahan tersebut dinamai kotok bongkok yang merupakan isi biji buah picung yang telah difermentasikan.
Uniknya, di Kabupaten Lebak sendiri olahan tradisional ini hanya populer di Kecamatan Muncang dan wilayah sekitar seperti Kecamatan Cipanas, Sajira, dan Sobang. Ketika menanyakan kepada teman di luar wilayah tersebut, ada sebagian yang bahkan tak mengenal apa itu kotok bongkok maupun picung bongkok.
Sentra penghasil olahan tradisional ini berada di Cimengger, sebuah kampung di Desa Mekarwangi yang masuk dalam Kecamatan Muncang. Sedangkan bahan baku buah picung sendiri didapat di desa-desa sekitar kaki gunung Endut.
Karena kadar racun yang terkandung, tak sembarang orang bisa mengolah picung menjadi kotok bongkok. Butuh proses panjang untuk mengolahnya. Dimulai dari mengupas isi biji, perendaman yang dilakukan berkali-kali, lalu difermentasi sehingga aman buat dikonsumsi. Karena terjadi pembusukan dalam proses fermentasi, olahan tradisional ini memiliki aroma yang cukup menyengat. Untuk teksturnya sendiri lunak dan kenyal mirip jamur.
Umumnya, kotok bongkok dimasak dengan cara dibungkus daun pisang (dipais) lalu dibakar di atas bara api. Bagi yang tak terbiasa, rasanya memang terasa aneh di lidah. Tapi bagi kebanyakan masyarakat di sekitar Muncang, pais kotok bongkok katanya sangat nikmat dipadukan dengan nasi, sambal dan ikan pindang maupun berbagai macam ikan asin.
Mang Sai’in salah satu penjual kotok bongkok yang berasal dari Cimengger mengatakan, dalam sehari dirinya bisa membawa sebanyak 4 nyiru. Dalam satu nyiru bisa berisi sekitar 150 biji kotok bongkok. Sebijinya dijual dengan harga 500 rupiah. Jika untuk dijual kembali, dia tak pelit memberikan potongan harga.
“Iyeu mah ka Bandung ka mamana geh geus ka masuk,” ujar mang Sai’in membungkus kotokbongkoknya ke dalam daun pohon picung.
Kotok bongkok adalah tradisi kuliner turun-temurun yang harus tetap dilestarikan. Di dalamnya terdapat kekhasan tersendiri yang bisa dijadikan potensi bagi masyarakat baik secara ekonomi maupun budaya. Pun jika harus melihat tradisi kuliner nusantara yang tak lepas dari buah bernama kepayang, kotok bongkok tentu bisa menjadi produk unggulan ciri khas Lebak selain gula aren dan madu. Saya berharap semoga saja namanya bisa setenar peuyeum sampeu maupun tauco.
Sampai saat ini, sedikit sekali informasi di internet mengenai olahan tradisional ini. Tapi beruntung ada satu video di YouTube yang memperlihatkan proses pembuatan kotok bongkok di Cimengger.
Selain kotok bongkok dari Cimengger, di wilayah lain di Banten seperti di pesisir barat Pandeglang terdapat juga olahan berbahan picung. Kuliner khas tersebut bernama picungan yang merupakan ikan laut yang difermentasikan dengan buah picung. Semoga segera saya bisa mencicipi.
Selamat berkuliner ria.