Opini

Transformasi Sosial Budaya, Turunnya Minat Mengelola SDA Pada Masyarakat Desa Dan Pinggiran Hutan

(Foto: Adi Prabowo)

yang lereng tanami padi, yang curam tanami bambu, yang gurun jadikan ladang, yang menggenang jadikan sawah, yang padat untuk perumahan,

Mari kita bernostalgia sejenak mengingat-ingat kembali cerita tentang ketenteraman, kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pribumi. Juga cerita rakyat turun-temurun akan keberagaman sumber daya yang menjadi kekayaan bumi pertiwi. Nusantara menyimpan begitu banyak sekali potensi sumber daya.

Betapa dulu sungai mengalir jernih dengan ikan-ikan melimpah di dalamnya. Petani sumringah, ekonomi tercukupi dari hasil tanah sendiri tak terdengar gagal panen. Kambing dan sapi beranak-pinak di gembala di hamparan rumput, bebek-bebek berenangan di kanal yang mengaliri sawah. Suara jangkirk dan kerlip kunang-kunang menyapa kala malam tiba.

Gambaran kondisi ideal dari suatu tempat tinggal bak negeri dongeng yang memberikan kecukupan untuk penduduknya. Kondisi ekonomi yang baik ditunjang oleh sumber daya yang melimpah. Para petani bergairah karena hasil panen melimpah memiliki harga stabil. Para peladang dengan tekun terus bekerja karena menerima upah yang bagus. Para nelayan gembira karena hasil tangkapannya laku keras. Semua lapisan masyarakat makmur dan sejahtera karena memperoleh keuntungan.

Hidup selalu mengalami perubahan dari satu keinginan sederhana sampai yang paling kompleks membawa manusia untuk selalu berbuat memenuhi berbagai keinginannya. Keinginan manusia yang semakin hari semakin kompleks mendorong perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi. Bersama itu ‘gemah ripah loh jinawi‘ harus terus dirawat.

Beberapa tahun silam saya tak sengaja ketika membuang sampah pada tempatnya, menemukan sobekan kertas bergambar logo salah satu kabupaten di Jawa timur yang tulisan di bawahnya menarik bagi saya yaitu ‘gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja. Ketertarikan ini membawa saya pada pencarian makna dari kalimat tersebut. Sebenarnya kalimat ini sudah sering saya dengar dari cerita-cerita orang tua atau seorang dalang yang mengisahkan kehidupan zaman dahulu.

Secara sederhana, gemah ripah loh jinawi diartikan sebagai wilayah dengan kesuburan yang membawa kemakmuran atau gambaran pemanfaatan sumber daya alam berupa potensi sumber daya yang beragam khususnya pada paradigma pembangunan agraris.

Sedangkan tata tentram kerta raharja dipahami sebagai sebuah tatanan pola dan struktur pembangunan secara luas sehingga membawa ketentraman dan kesejahteraan.

Kalimat gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja disimpulkan sebagai keadaan bumi pertiwi yang bak negeri dongeng oleh kesuburan sumber daya alam yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.

Sebagai negara agraris, nenek moyang kita telah sejak lama menyadari potensi sumber daya alam yang ada di negeri ini begitu kaya.
Ketika suatu pagi melihat petani di kampung yang mayoritas adalah lansia, nalar saya terbawa untuk melakukan penelitian ndek-ndek an. Sejak 2 tahun lalu penelitian itu saya mulai dengan belajar bertani menggarap sawah menanam padi, jagung, terong, bawang merah dan sebagainya.

Saya begitu berminat di sektor pertanian untuk mencari tahu mengapa profesi ini tak ada daya tariknya bagi anak muda, apakah profesi petani memang begitu ngenes di era milenial ini? Juga gempuran sektor industri, mampukah kita hidup makmur dengan bertani? Atau dengan inovasi-inovasi yang bisa memanipulasi hasil ataupun pendapatan petani bisa meningkat sehingga kemakmuran dan kesejahteraan hidup seperti yang tergambar pada suluk ‘gemah ripah loh jinawi‘ itu akan bisa dirasakan seperti sediakala di era internet ini, khususnya di daerah pinggiran hutan dan pedesaan seperti tempat tinggal saya. Hingga hari ini penelitian ndek-ndek an ini masih saya jalani. Terlapas nanti saya temukan jawabanya atau tidak.

Sruput dulu kopimu. Dan mari kita telusuri bersama.

(Dalam kumpulan tulisan: Daur subur) “ibaratkan tanah: yang lereng tanami padi, yang curam tanami bambu, yang gurun jadikan ladang, yang menggenang jadikan sawah, yang padat untuk perumahan, yang membukit jadikan perkuburan, yang gauang untuk kolam ikan, yang padang tempat bergembala, yang berlumpur kubangan kerbau, rawa-rawa tempat itik berenang.”

Mamangan di atas adalah ungkapan tentang pemanfaatan lahan secara efisien, menunjukkan bahwa dalam kondisi apapun kita diciptakan memiliki potensi dan manfaat masing-masing. Menarik melihat ini sebagai manifestasi orang Minangkabau dulu mengemas data yang tersedia pada alam dan kemudian dikelola kembali secara praktikal maupun sebagai ilmu pengetahuan.

Alam adalah data yang menuntut kita membaca kembali apa yang disimpannya. Orang Minangkabau pada masa awal sepertinya telah menyadari itu, selain alam sebagai falsafah hidup, memanfaatkan dan mengolah hasil sumber daya alam merupakan profesi utama di Minangkabau. Profesi utama itu seperti bertani, yang kemudian memunculkan profesi-profesi lain untuk mendukung pertanian.

Pembangunan pertanian di Indonesia tetap dianggap terpenting dari seluruh pembangunan ekonomi. Apalagi semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional. Alasan pentingnya peranan sektor pertanian di Indonesia yaitu potensi sumber daya yang besar dan beragam, terdapat pendapatan nasional yang cukup besar, banyaknya penduduk yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan.

Untuk tetap menjadi negara agraris harus diikuti dengan pola pertanian berkelanjutan. Sehingga sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi sebutan negara agraris tidak tergerus zaman. Sebagai negara agraris, pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi keharusan agar sumber daya alam yang ada sekarang ini bisa dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama. Karena pertanian menjadi sektor vital yang mendukung kebutuhan pangan.

Seberapa besar potensi sumber daya yang kita miliki untuk kesejahteraan masyarakat? Letak Indonesia yang sangat strategis berada di daerah khatulistiwa menjanjikan berbagai kemudahan dalam upaya pengembangan pertanian dan perkebunan. Walaupun dalam kenyataannya pertanian dan perkebunan masih menjadi potret kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya sentuhan inovasi, teknologi pertanian ramah lingkungan dan pemerataan penguasaan lahan.

Seiring kemajuan zaman, perkerjaan petani atau bercocok tanam di daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi makin ditinggalkan anak-anak pribumi masa kini. Wirang memang!

Lambang padi dan kapas pada logo Pancasila mewakili sila ke-5 melambangkan kebutuhan dasar manusia yaitu pangan dan sandang. Bila menilik zaman dahulu, masyarakat pedesaan Indonesia digambarkan hidup makmur dari hasil bercocok tanam atau bertani. Penampilan atau sandangan seorang petani memang compang-camping. Tetapi Mas, Mbak! aku ragu adakah bayangan sosok petani dalam benak saat menghirup nikmat dan wangi masakan di meja makanmu.

Ada pengingkaran terkait kasus ini, petani dikesampingkan postulat keren yang serius itu luput di tangkap. Sedigdaya apapun ilmu memasaknya, sespektakuler apapun temuan masakanya, kawan saya lupa ada andil sejumlah petani bagi ketersediaan bumbu-bumbunya di dapur, meraut satu-satu biji buah kahwa itu dari tandanya untuk tiap bulir nasi dan bumbu yang kita olah.

Sehingga dewasa ini kemakmuran ‘gemah ripah loh jinawi‘ itu bukanlah sesuatu yang kita terima saja sebagai karunia Tuhan melalui alam, melainkan sesuatu yang harus terus kita jaga, lestarikan dan perjuangkan bersama-sama. Sebagai cara bercita-cita terkait perbaikan hidup sebagai makhluk yang dituntut mampu bekerja dengan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi.


Referensi:
Kumpulan tulisan: daur subur.
Berbagai sumber isu lingkungan.


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

Calon Kepala Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.