Virus Baik Bernama Inklusi Sosial (Junaedi, S.E., Resensi Buku INKLUSI SOSIAL: Mewujudkan Masyarakat Insklusif Karya Wahyudi Anggoro Hadi dkk. Yayasan Sanggar Inovasi Desa, Agustus 2020)
Judul Buku: INKLUSI SOSIAL: Mewujudkan Masyarakat Inklusif
Dewan Redaksi: Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta, Sholahuddin Nurazmy
Penerbit: Yayasan Sanggar Inovasi Desa
Penanggung Jawab Produksi: Faiz Ahsoul
Editor: Fawas dan Irfan Afifi
Penyelia Aksara: Chusna Rizqati
Tata Letak Isi: Prima Hidayah
Desain Dan Ilustrasi Sampul: Ketjil Bergerak, Arif Gunawan, dan Agus Teriyana
Cetakan: Pertama, Agustus 2020
Ukuran Buku: 13 x 19 cm
Tebal Buku: xxxiv + 130 halaman
ISBN: 978-623-94710-8-8
Buku ini merupakan hasil antologi sumbang-gagasan tulisan sepuluh narasumber pada acara webinar seri khusus bertema “inklusi Sosial” sebagai rangkain kelanjutan Kongres Kebudayaan Desa 2020 (dari rangkaian webinar seri 1 hingga 18, antara tanggal 1-10 Juli ) pada Minggu, 5 Juli 2020.
Dewan redaksi, dalam konteks resiliensi masa krisis, mencoba mengeksplorasi dan mengembangkan lebih dalam terkait gagasan inklusivitas desa, termasuk melengkapinya dengn alat ukur keberagaman sebagai benteng terakhir masyarakat Indonesia yang terbuka dan beragam demi tercapainya inklusivitas masyarakat Indonesia menyongsong tatanan baru yang kembali pada nilai –nilai luhur bersama.
Diskursus Inklusi Sosial
Menurut Medika Nur Sasmito, menuturkan komunitas penghayat kepercayaan Persatuan Eklasing Budi Murko (PEBM) didirikan oleh Ki Mangun Wijaya pada tahun 1926. PEBM yang kini berkembang di Kulon Progo, Yogyakarta ini menekankan untuk menghayati tiga hal, yaitu pertama, menghayati alam, kedua, menghayati kehidupan manusi, dan ketiga, menghayati Tuhan (hal 1-2).
Rani Ayu Hapsari, perempuan yang aktif di pusat rehabilitasi YAKKUM ini memaparkan bahwa inklusi sosial merupakan pendekatan yang menempatkan difabel ke dalam ruang yang setara dan sederajat martabatnya dengan identitas kewargaan yang lain. Inklusi sosial mengupayakan adanya kesamaan akses terhadap pemenuhan identitas dan layanan dasar, dan membuka adanya ruang penerimaan sosial, serta kebijakan yang berpihak pada kebutuhan spesifik difabel (hal 17).
Yunisa Syalom P, menuturkan membangun atau memupuk pikiran memanusiakan penghayat kepercayaan memerlukan pengetahuan tentang bagaimana selama ini mereka tidak dimanusiakan, sebab bisa jadi ketidaktahuan kita akan penderitaan merekalahyang membuat mereka hidup dalam “ketakutan” dan “kemiskinan” (hal 38).
Di Desa Salamrejo, kehadiran pihak ketiga, seperti lembaga swadaya LKIS dan SATUNAMA memang baik, karena dapat memberikan sebuah pemberdayaan untuk meningkatkan martabat kelompok penghayat kepercayaan.
Kiprah Nabula Nawa, warga desa Mondu, Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur. Seorang tamatan SMP, ia membuktikan bahwa aktor desa mampu menolong upaya praktik inklusi sosial di desanya serta memberikan pengaruh baik dan motivasi desa lain. Agensi aktor desa bergerak aktif dalam mendorong perubahan sosial. Kabula adalah agen yang tidak lepas dari struktur desa sebagai ruang advokasi.
Waria merupakan salah satu kelompok masyarakat rentan yang sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Mulai dari akses pendidikan, kesehatan, hak atas pekerjaan, sampai hak untuk beribadah sebagai umat beragama, semuanya tak luput dari perlakuan diskriminatif terhadap waria. Dalam satu dekade belakangan, seksualitas remaja, termasuk pekerja seks remaja menjadi salah satu tema yang memicu kepanikan moral orang dewasa Indonesia.
Selama beberapa dekade sebelumnya, desa telah memiliki praktik-praktik baik dalam mengelola kebersamaan masyarakat. Contoh kecil adalah kegiatan gotong royong atau kerja bakti yang yang rutin dilakukan secara berkala oleh masyarakat desa. Gotong royong merupakan tradisi subkultur yang mampu memobilisasi seluruh masyarakat tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras, gender dan kelas sosial.
Pengejawantahan dari praktik-praktik kecil ini tidak bisa lepas dari lahirnya kepemimpinan desa yang organik dan berakar dari kearifan lokal. Selain itu, semangat gotong royong merupakan modalitas untuk mengurai potensi perbedaan yang dapat berujung pada munculnya konflik.
Kelebihan Buku
Buku ini memberikan pengetahuan baru terkait diskursus inklusi sosial, bahwa dalam kondisi pandemi Covid-19 sebagai warga negara yang berbhineka tunggal ika harus berfikir cerdas kritis dengan mengeja Indonesia dengan melafalkan huruf per huruf membentuk kata I-n-d-o-n-e-s-i-a, merupakan bentuk evaluasi perannya sebagai wadah keberagaman desa se-Nusantara.
Dalam buku ini, mengeksplor isu-isu inklusi sosial dengan spektrum yang luas, mulai dari penyandang disabilitas, anak, waria, psk anak dan agama leluhur (penghayat kepercayaan).
Kekurangan buku
- Sistematika penulisan buku tidak seperti sistematika buku pada umumnya : pembuka, isi, dan penutup
- Penggunaan beberapa kosa kata atau diksi bahasa asing, yang belum familiir dengan gaya bicara warga desa, sehingga pembaca dibuat repot untuk sekedar mencari tahu arti diksi tersebut.
- Dalam konteks inklusi sosial, redaksi lebih condong kepada agama leluhur, terbukti ada ada 5 nara sumber yang memaparkan agama leluhur dibanding konteks pengkayaan inklusi sosial lainnya.