Resensi

Resensi: Kebhinekaan Desa-Desa Adat di Nusantara

Cover Buku KEBHINNEKAAN DESA-DESA NUSANTARA: Perspekitf Masyarakat Adat.
(Foto: Yayasan Sanggar Inovasi Desa)

Identitas Buku

Judul Buku                              :  KEBHINNEKAAN DESA-DESA NUSANTARA: Perspekitf Masyarakat Adat

Dewan Redaksi                       :  Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta, dan Sholahuddin Nurazmy

Penerbit                                   :  Yayasan Sanggar Inovasi Desa

Cetakan                                     :  Pertama,  Agustus 2020

Ukuran Buku                           :  13  x 19 cm

Tebal Buku                               :  xlvi + 278 halaman

ISBN                                         :  978-623-94710-4-0

Judul Resensi                            : Kemandirian Desa-Desa Adat di Nusantara

Resensator                                 : Junaedi, S.E.


Melalui Orasi Kebudayaan, dengan mengambil tema “Desa/Kampung Bergerak : Refleksi dari Bali ke Papua, I Ngurah Suryawan melontarkan  bahwa menafsirkan masyarakat Bali dan Papua yang sedang bergerak inilah tugas utama ilmu antropologi untuk memberikan makna bagi proses perubahan sosial budaya di tanah Papua. 

Sementara menurut Fawas, mengaris bawahi kita perlu belajar mandiri dan berdaulat dari Suku Boti yang mendiami sebuah wilayah yang berada di Desa Boti, Kecamatan Ki’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur,  Suku Marind Anim di wilayah Selatan Papua, Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Mappi, dan Desa Jonooge Serta Desa Karawana, Kabupaten Sigi.

Bumi Anim Ha, oleh penghuninya diyakini sebagai tanah yang berisi hidup dan penghidupan, kesejahteraan, kemakmuran, serta keseimbangan bagi siapa saja yang mau hidup berdampingan dengan alam. Marind Anim, dan juga suku-suku lain yang mendiami wilayah selatan Papua, mengonstruksi keyakinan spiritual mereka untuk menyakralkan hutan-hutan tempat mereka menyimpan tabungan sumber daya alam mereka.

Sementara menurut Tahdia Jawhar Umaruzzaman,  memaparkan tentang Suku Badui, Lebak Banten, Jawa Barat. Menurutnya, dasar religi masyarakat Badui dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa),  yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), Gusti Numahakuwasa ( Tuhan Yang Maha Kuasa) dan Batara Seda Niskala ( Yang Maha Gaib), serta Tuhan Yang bersemayam di Buwana Nyuncung (Alam Atas).

Sedangkan Arfiansyah , menulis tentang “Adat : Arena Tarung dan Perubahan untuk Perempuan dan Anak, dengan perspektif  Desa Adat Aceh. Menurutnya, perubahan-perubahan buruk pada kehidupan perempuan di ruang publik diakibatkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah dakwah-dakwah yang menafsirkan agama secara misoginis yang mengarahkan perempuan secara perlahan ke dapur, kasur, dan sumur.

Berbeda lagi dengan pandangan  Basrizal Datuk Penghulu Basa, melalui tulisannya yang berjudul ”Nagari : Ruang Dinamika Masyarakat Minangkabau” menurutnya Di Minangkabau, Nagari adalah perwujudan dari cita-cita ideal seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Minangkabau, yakni Undang-Undang Nagari dan Undang-Undang  dalam Nagari.

Sangat menarik ketika Erwan Suryanegara menyoroti tentang “Membaca Sriwijaya, Mengeja I-N-D-O-N-E-S-I-A” menurutnya Sriwijaya yang digdaya selama tujuh abad dalam satu dinasti Syailendra sungguh membuat kita kesusahan bila hendak mencari negara mana yang dapat menyamainya.

 “Huta : Pembagian Ruang Hidup Masyarakat Batak Toba” adalah tulisan dari Yona Primadesi.  Menurutnya bahwa huta adalah kesatuan sosial hukum dan adat terkecil yang didalamnya mengandung hukum adat, sosial, ekonomi, dan politik, terbukti telah mampu bertahan melewati pnademi dengan tetap mengedepankan kebermanfaatan dan ketahanan pangan bagi seluruh masyarakatnya.

Melalui  perspektif Desa Tidore, Maluku Utara, dan Dayak, Dadang Ari Murtono, memaparkan bahwa Suku Tidore merupakan suku bangsa di Maluku Utara. Sebagian besar mereka mendiami  Pulau Tidore yang terletak di sebelah selatan Pulau Ternate dan di sebelah barat Pulau Halmahera. Sementara Suku Bangsa Dayak merupakan suku bangsa terbesar di Kalimantan, dan salah satu yang terbesar  di Indonesia. Suku bangsa ini tersebar di seantero Pulau Kalimantan, dan karen itu memiliki keunikannya tersendiri yang telah menarik banyak pihak.

Sementara cerita dari  Bajo, sebagaimana ditulis Benny Baskara, desa-desa adat di sana juga mengalami dampak sosial ekonomi dari pandemi Covid-19. Karena bagaimana pun, meski tak pernah memunggungi laut, orang-orang Bajo memiliki interaksi yang kuat dengan masyarakat daratan terutama dalam industri perikanan dan pariwisata.

Sementara, Paer Daya Lombok mempunyai Gawe Alif, prosesi ramu-ruwat dan daur ulang kehidupan yang hendak dilaksanakan kembali setelah gempa mengantam Lombok pada tahun 2019 lalu. Prosesi adat tersebut membutuhkan persiapan bertahun-tahun lamanya, dan wabah Covid-19 yang disebut “rendok” dalam bahasa Paer Daya semakin meyakinkan mereka bahwa Gawe Alif yang terakhir kali diselenggarakan pada tahun 1957 perlu dilakukan kembali, demikian menurut tulisan Tjatur Kukuh Surjanto.

“Mnu” dari Ufuk Timur  : Jalan Menuju Kedaulatan Masyarakat Adat Biak” begitulah judul tulisan Dwi Cipta. Ia menuturkan bahwa masyarakat adat Biak dapat digolongkan ke dalam kelompok masyarakat adat yang tidak mengenal sisitem kekuasaan dan terstruktur.

Menuju Deklarasi Desa-Desa

Ryan Sugiharto, ketua penyelenggara Kongres Kebudayaan Desa, yang juga sebagai ketua Yayasan Sanggar Inovasi Desa, dalam Epilog Kongres Kebudayaan Desa mengarisbawahi tentang pentingnya membaca Desa, mengeja ulang I-N-D-O-N-E-S-I-A : Arah Tatanan Indonesi Baru dari Desa. Bagaimana cara kita mengeja ulang sangat tergantung dari kemampuan kita membaca desa sebagai ibu bumi. Desa menjadi sosok ibu yang nuturing, ngopeni, ngrumat, ngemonah, nggulawentah, murakabi, semua anggota keluarga [hlm 257]

Di pengunjung buku ini, disertakan pula Deklarasi Arah Tatanan Indoensia Baru dari Desa : “Atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, maka desa dengan ini menyatakan bahwa cita-cita tatanan Indonesia baru adalah terselenggaranya politik pemerintah desa yang jujur, terbuka dan tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang partisipatif, emansipatif, tenggang rasa, beradaya tahan, mendiri serta memuliakan kelestarian  semesta ciptaan melalui pendayagunaan datakrasi yang ditopang oleh cara kerja pengetahuan dan pengamalan  lintas ilmu bagi terwujudnya distribusi sumber daya yang setara untuk kesejahteraan warga.” [hlm 273]

Kelebihan dan Kekurangan Buku

Buku sumber pengetahuan tentang Kebhinnekaan desa-desa nusantara, layak saudara miliki dan penting untuk saudara baca untuk memperkaya khasanah wawasan berfikir bagi para pemangku kepentingan di desa atau para peneliti, LSM dan sebagainya dalam rangka merubah arah tatanan Indonesia Baru di era dan setelah masa Pandemi Covid-19, demi tercapainya  tujuan pembangunan berkelanjutan  (SDGs) desa-desa di nusantara.

Banyak kosa kata-kosa kata nusantara yang dihadirkan oleh beberapa nara sumber dalam buku ini, hal menurut saya merupakan kelebihan dan kelemahan buku ini sekaligus, karena di satu sisi merupakan pengkayaan  kosa kata-kosa kata baru yang baru kita baca atau kita dengar, tetapi di sisi lain dengan kosa kata-kosa kata baru ini  membuat kita kurang nyaman karena terganggu oleh kosa kata yang kita belum tahu artinya.

Sistematika penulisan antologi sumbang-gagasan  yang ditampilkan dalam buku ini, tidak seperti sistematika buku pada umumnya yang tersusun dari bab per bab, kemudian  terdiri dari pendahuluan, batang tubuh  dan penutup. Dalam buku ini, seakan-akan sistematika asal masuk saja.


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

JUNAEDI, S.E., Lahir 06 Januari 1974, Lulusan S1 STIE Widya Wiwaha Yogyakarta (1999), bekerja di Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID) Panggungharjo Sewon Bantul DI Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *