
(Foto: Yayasan Sanggar Inovasi Desa)
Identitas Buku
Judul Buku : KOMUNIKASI, MEDIA, DAN INFLUENCER: Kebijakan Komunikasi Publik dalam Tata Pemerintahan
Dewan Redaksi : Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta dan Sholahuddin Nurazmy
Penerbit : Yayasan Sanggar Inovasi Desa
Penanggung Jawab Produksi : Faiz Ahsoul
Editor : Irfan Afifi
Cetakan : Pertama, Agustus 2020
Ukuran Buku : 13 x 19 cm
Tebal Buku : xxxvi + 142 halaman
ISBN : 978-623-94710-6-4
Judul Resensi : Membranding Desa Melek Teknologi Informasi
Resensator : JUNAEDI, S.E.
Desa bisa menjadi kunci pertahanan negara jika potensinya bisa dimaksimalkan. Di era pandemi seperti sekarang ini, desa dianggap dapat menjadi “buffer zone”, zona penyangga terakhir ketika tatanan masyarakat urban kolaps. Gap atau kesenjangan yang saat ini terjadi adalah memahami teknologi hanya sebagai teknologi saja, sehingga teknologi tidak seriring dengan tumbuhnya kultur pengguna, teknologi menjadi artificial. Harus ada optimalisasi “deliberative process” dalam proses-proses komunikasi berbasis elektronik semacam ini.
Peran Kepala Desa sebagai Influencer
Menurut Tri Agus Susanto dalam pemaparannya, ada tiga tipe kepemimpinan. Pertama, tipe kepemimpinan regresif. Tidak ada orang lain dan apa yang diucapkan oleh kepala desa dianggap keputusan desa dan harus dipatuhi, bahasa lainnya sabda pandita ratu. Selain itu, biasanya kepemimpinan iniseringkali menolak transparan, tak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada publik.
Kedua, tipe kepemimpinan konservatif-involutif yang memaknai pemerintahan cenderung normatif serta prosedural. Menjalankan pemerintahan ini hanya membuat dokumen laporan pertanggungjawaban dan biasanya hanya mengikuti tata tertib yang sudah ada. Seacar guyon tipe seperti ini seperti slogan “mboten ngapusi, mboten korupsi, mboten nopo-nopo” (tidak menipu, tidak korupi, tapi melakukan apa-apa).
Sedangkan ketiga, tipe kepemimpinan inovatif-progresif yang memaknai Pemerintah Desa sebagai proses menjalankan pemerintahan yang melibatkan partispasi/prakarsa masyarakat, transparan serta mengedepankan akuntabilitas kinerja. Mau tidaka mau kepala desa harus bersiasat, kreatif, dan progresif di masa pandemi Covid-19.
FX Rudy Gunawan menulis jurus jitunya, adalah Reposisi dan Rebranding Desa. Kongres kebudayaan Desa (KKD) bertujuan memberikan gambaran sektor-sektor pembangunan desa di era pandemi dan imaji sebuah tatanan baru pemerintahan dan masyarakat desa. Penggambaran itu meliputi analisis, dekonstruksi, dan rekonstruksi sektor pembangunan desa, arah kebijakan, dan strategi pencapaian besarta programnya sehingga mampu memberikan pedoman pencapaian tatanan hidup baru.
Untuk itu, KKD melibatkan pemangku desa (pemaerintah desa, lembaga, komunitas, dan warga), pemikir, akademisi, birokrat, pelaku bisnis, dan media. Upaya KKD membaca (lagi) desa dalam konteks ini, menurutnya memerlukan sekurangnya dua hal.
Pertama, menempatkan kembali (reposisi) desa sebagai sumber nilai praksis yang mungkin bisa matching dengan konteks era teknologi informasi saat posisi dan kedudukan manusia tidak lagi paling superior (terancam antara lain oleh artifical intelegent).
Kedua, merumuskan strategi komunikasi dalam rangka branding ulang (rebranding) ‘desa sebagai alternatif jawaban’ atas rontoknya tatanan masyarakat yang ditopang baik oleh kekuatan kapitalisme, sosialisme, ataupun fundamentalisme.
Mirip dengan apa yang disampaikan FX Rudy Gunawan, Edy SR menuturkan ibarat brand, desa harus disadari oleh subkultural digital. Tidak hanya berhenti di level para pemangku kepentingan. Karena dalam konteks branding desa, para subkultur digital tersebut merupakan influencer. Merekalah yang akan meluaskan pengaruh melalui beragam platform digital. Detik ini, semua status, caption, foto, dan video mereka tentang desa merupakan endorsment. Kesaksian yang bisa jadi lebih mujarab ketimbang pidato para pejabat desa.
Membaca Desa, Mengeja Ulang Indonesia” berarti menata branding desa dengan perspektif digital. Bukan mengubah semuanya, tapi mengelola nilai-nilai ndeso menjadi konten yang lebih mudah dicerna dan ramah untuk diluaskan. Jejak digital adalah aset penting.
Karena desa dengan segala aset tangible dan intangible –nya, harus mudah ditemukan di mesin pencari. Jika 75 ribu desa di Indonesia mudah ditangkap mesin pencari, maka betapa kayanya referensi kita tentang desa. Kalau masing-masing desa tersebut gotong royong digital dengan seribu postingan Instagram bertagar desa, maka sudah akan ada 75 juta “#desa” di platform berbagi foto tersebut . Itu belum di Facebook, Twitter, Youtube, maupun Tik-Tok.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Firmansyah, melalui tulisannya yang berjudul “Jurnalisme Desa untuk Mengentaskan Kemiskinan”, dilihat dari fungsinya pers bisa dikatakan mempunyai fungsi antara lain : sebagai Informasi (to inform), sebagai Edukasi (to educate), sebagai Koreksi (to influence), sebagai Rekreasi (to entartain), sebagai Mediasi (to mediate), dan sebagai solusi (to solve the problem).
Jurnalisme warga dapat diadopsi dan dimodifikasi sebagai jalan tengah untuk menjadikan jurnalisme yang berkeadilan bagi warga desa, konsep ini dapat dikatakan sebagai jurnalisme desa.. Hadirnya media desa sudah barang tentu ikut membantu mengentaskan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat terutama pemuda menjadi jurnalis desa yang handal dan profesional layaknya jurnalis pada media arus utama. Media desa diyakini akan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap program-program pembangunan di pedesaan.
Kelebihan dan Kelemahan Buku
Buku ini kaya akan pengetahuan yang baru, dalam konteks komunikasi, media dan influencer pada saat pandemi dan setelahnya. Juga berisi beberapa terkait model protokol komunikasi publik yang baik, beberapa tawaran kebijakan dan progam-program strategis yang dapat diintervensi Pemerintah Desa, beberapa langkah dalam rangka penguatan peran media dalam mengadvokasi krisis dan lain sebagainya.
Buku banyak menggunakan istilah –istilah asing, yang merupakan kelebihan juga kelemahan dari buku ini. Kelebihannya, dalam memperkaya wawasan pembaca dalam hal penambahan kosa kata istilah asing. Dan bagi orang kebanyakan, warga pada umumnya – kesulitan untuk memahami istilah – istilah asing tersebut.
Sangat disayangkan buku sebagus itu, tidak diimbangi dengan performance buku keseluruhan seperti cover buku, sistematika penulisan buku, jenis kertas cetak buku serta ukuran buku yang kekecilan.