
(Foto: Sukmadi Jaya Rumana)
Akhir-akhir ini saya penasaran dengan yang namannya kopi, walaupun memang bukanlah seorang ahli kopi, hanya sekedar penikmatnya. Rasa penasaran yang semakin besar membawa saya ingin mengenal kopi lebih dalam lagi, mulai dari biji, kecambah, hingga kemudian tumbuh dan berbuah sampai berakhir di dalam gelas.
Sekali lagi saya bukan seorang yang ahli di bidang perkopian. Rasa penasaranlah yang membawa saya ingin mengenal kopi lebih dalam, bukan hanya saat disajikan. Perjalanan ini saya mulai dari sebuah biji kecambah kopi yang saya temukan di kebun secara tidak sengaja. Dari sini, di kepala saya mulai menari-nari membayangan kopi dan petani kopi selaku pelaku di hulu.
Saya sempat bertanya kepada para petani di Citorek, kenapa tidak menanam kopi? Kenapa kopi hanya ditanam alakadarnya saja? Kenapa kalaupun ada tanaman kopi tapi tidak terurus secara maksimal?
Dan jawaban yang saya temukan mengerucut ke satu kata, ‘DUIT’. Hal tersebut tentu membuat saya semakin penasaran ada apa sebenarnya dengan kopi?
Dari obrolan-obrolan dengan beberapa petani, saya mulai paham mengapa mereka tidak mau serius di kopi. Alasannya adalah karena mereka menganggap harga kopi tidak menjanjikan. Ada ketidakberdayaan petani di sini, mereka seharusnya yang menentukan harga yang layak dari produk yang mereka hasilkan.
Kalau sudah berurusan dengan uang memang susah, apalagi sampai membekas jadi kata kecewa itu akan menjadi cerita khusus. Dalam hati bertanya, mungkinkah ada mafia? Atau ada yang sengaja memonopoli sehingga petani sebagai pelaku di hulu selalu dirugikan dan tidak berdaya? Padahal di pasaran harga kopi terhitung lumayan juga.
Suatu hari saya bertemu dengan seorang teman, kami banyak diskusi tentang kopi walau sebenarnya kami bukan ahli kopi. Yang kami bicarakan bukan tentang kopinya saja, tapi yang membuat kami heran kenapa kopi yang rasanya pahit saat diseduh, tapi pahit pula saat dipetik bagi petani.
Sekali lagi saya bukan ahli di bidang perkopian, dan saya bercerita bukan tentang rasa tetapi rasa penasaran membawa saya kepada mengapa tidak ada produk kopi di tempat saya? Kalau pun ada hanya dikonsumsi sendiri yang tentu tidak memiliki kebermanfaatan secara ekonomi bagi masyarakat. Kesimpulan sementara yang saya temukan ada ketidakberdayaan masyarakat tani, sehingga mereka selalu mendapat porsi yang tidak menguntungkan.
Kata-kata petani adalah hulu dari sebuah produk saya analogikan seperti sungai, semakin ke hulu semakin kecil debit airnya. Tetapi airnya sangat bersih, dan semakin ke hilir semakin besar debit airnya tetapi banyak sampah yang ikut hanyut. Dan semakin panjang aliran sungai, maka ke hulu akan semakin kecil, ke hilir akan semakin besar.
Di sinilah pentingnya masyarakat harus berdaya agar mampu mandiri. Gerakan UMKM harus menyasar sampai ke akar rumput dan dapat mengakses pemain hulu agar para pelaku seperti petani pembudidaya kopi dapat merasakan (selain pahit) kopi ada manis-manisnya juga. Peran-peran generasi muda harus dioptimalkan supaya tercipta generasi yang berdaya saing dan berkompeten.
Saran saya, tanam kopi sendiri, olah sendiri dan bangun jaringan pasar. Bukan maksud mengajari untuk memonopoli, tapi petani harus mampu berdaulat dalam menentukan harga produk yang mereka hasilkan. Dan teruntuk generasi muda, apalagi yang suka ngopi walau masih kopi sachet-an, ayo rasakan nikmatnya ngopi dari biji kopi yang dihasilkan di kebun kita sendiri.