Resensi

Desa Menjadi Kiblat Peradaban Baru

Sampul buku ARAH TATANAN BARU: Hidup di Era Pandemi dan Sesudahnya.
(Foto: Yayasan Sanggar Inovasi Desa)

Melani Budianta dalam webinar seri 1 Kongres Kebudayaan Desa  2020, menyimpulkan bahwa kita memerlukan peradaban baru akibat pandemi ini, peradaban yang bukan urban sentris. Beliau juga menyebutkan bahwa peradaban baru ini akan mengarah ke desa, tetapi bukan desa yang dikembangkan dengan perspektif urban atau desa masa silam yang sudah hilang.

Peradaban baru tersebut yang disebutnya sebagai Peradaban Desa Masa Depan adalah peradaban yang “berbasis pada tatanan yang ramah pada alam dan lingkungan, berbasis pada komunitas yang mempunyai ketahanan pangan dan ketangguhan budaya”.

Peradaban yang “berakar pada kekayaan budaya lokal, yang dapat dikembangkan menjadi pengetahuan, wawasan dan nilai untuk menjaga keragaman hayati, solisaritas, dan keguyuban sosial untuk saling menjaga, merawar relasi antarmanusia dan memanusiakan manusia melalui seni dan budayanya”.

Desa Ledokombo, misalnya, pada awalnya adalah desa pemasok tenaga migran, meninggalkan anak-anaknya dalam asuhan kakek neneknya. Melalui inisiatif aktivis budaya dan pemimpin informal, dengan membangun pusat bermain anak-anak (yang diberi nama dalam bahasa Madura, tanoker, berarti kepompong).

Disana anak-anak diajak untuk menghidupkan kembali permainan egrang secara kreatif dan inovatif, suatu permainan tradisional yang selama ini telah ditinggalkan karena anak-anak terpaku pada gawainya masing-masing. 

Budi Arie Setiadi, Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyebut inilah saat yang tepat bagi desa untuk menyerbu kota. Tentu saja istilah menyerbu yang digunakan kali ini tidak bisa dimaknai dengan perspektif lama yang mengandaikan keberadaan desa sebagai semata penopang kota, desa ada untuk kota, yang menyebabkan arus urbanisasi besar-besaran sehingga desa kehilangan tenaga produktifnya.

Dengan optimis, beliau memandang bahwa desa bisa menjadi pelopor dan motor penggerak pemulihan ekonomi bangsa ke depan. Ada tiga kunci penting kemajuan desa, yaitu ketersediaan generasi muda di desa yang cukup, SDM yang kreatif dan inovatif, serta partisipasi aktif warga pada pembangunan desa.

Garin Nugroho menyampaikan sekaligus mengajak kita untuk merenung kembali tentang paradoks-paradoks yang menyertai peradaban, mulai dari revolusi industri 1.0 hingga 4.0 yang akhir-akhir ini sering diagungkan.

Keoptimisan tersebut bisa saja berubah menjadi petaka bila setiap pemangku kepentingan tidak berhasil memanfaatkan momentum revolusi industri 4.0 sekaligus pandemi Covid-19 yang memaksa kita merumuskan arah peradaban baru ini, sama seperti halnya kita melewatkan momentum di revolusi industri-revolusi industri sebelumnya.

Seterusnya, Dr. Muhammad Faisal juga menyebut bahwa generasi muda hari ini yang mengalami masa-masa mencekam akibat Covid-19 tidak akan lagi “mendengar narasi-narasi hebat tentang revolusi industri, singularity, maupun industri berbasis kreativitas untuk kemakmuran ekonomi.

Sebab narasi tersebut menjadi kurang kontekstual di tengah pandemi juga resesi ekonomi yang akan menyertainya”. Sebagai gantinya, narasi-narasi tersebut akan digantikan oleh narasi-narasi yang lebih kontekstual dan heroik seperti gotong royong dan kemanusiaan.

Desa sepertinya memegang peranan penting di masa pandemi Covid-19 ini dan juga masa-masa setelahnya. Namun, itu tidak lantas berarti bahwa segala yang berada di desa baik-baik belaka.

Laode M. Syarif  mengingatkan kita bahwa desa (atau masyarakat desa) juga menyimpan kebobrokan-kebobrokan yang tidak berbeda jauh dengan kota. Dengan rangkaian data yang disodorkannya, ia menunjukkan bahwa dana desa adalah iming-iming menggiurkan yang mampu membuat orang desa melakukan korupsi.

Peran penting desa dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini dalam praktik nyatanya ditunjukkan Wahyudi Anggoro Hadi selaku Lurah Desa Panggungharjo. Di Panggungharjo, para pemangku kepentingan menyadarkan warga akan bahaya Covid-19 dengan melakukan penyemprotan secara demonstratif, misalnya atau memberi apresiasi yang bagus terhadap para penyintas Covid-19.

Mencermati apa yang terjadi di Panggungharjo (dan kemungkinan besar juga terjadi di desa-desa lain), kita bisa lebih optimis bahwa kita akan bisa melalui pandemi ini dengan menjadikan desa sebagai benteng pertahanan yang kuat. Aktivitas sosial yang mulai dibatasi agar menekan penyebaran virus membuat pasardesa.id menjadi salah satu cara efektif bagi warga masyarakata desa untuk belanja.

Platform ini pun menjadi jalan terang bagi para pedagang ketika pasar mulai kehilangan pengunjungnya. Melek digital kemudian menjadi kunci utama untuk mengatasai krisis, menjadi media dalam memasarkan produk-produk desa hingga menjaga stabilitas perputaran roda perekonomian.

Kelebihan dan Kekurangan Buku

Buku setebal 122 hlm + xxxviii, tetapi berisi berjuta-juta pengetahuan yang luar biasa tentang Arah Tatanan Baru Indonesia, yang membuat pembacanya berselancar dengan mimpi-mimpi orang pintar yang peduli dan konsen terhadap kemandirian desa menghadapi tantangan krisis di era pandemi dan sesudahnya .

Ada beberapa kumpulan dan  tawaran ide yang di sampaikan dalam buku ini, yaitu  kebijakan strategis setingkat desa untuk berkreasi dan berinovasi merumuskan tata nilai dan tata kehidupan baru dalam bernegara dan bermasyarakat. Juga tawaran program setingkat desa tentang kebijakan dan budaya anti korupsi  pada pemerintahan desa dan masyarakat desa.

Tetapi sayang pengetahuan sebagus ini, tidak didukung performance buku yang menarik, seperti cover buku dan kertas cetaknya yang terkesan kurang epensive. Dan mungkin bagi orang awan kebanyakan , penggunaan diksi yang ilmiah bahasa asing kurang dimengerti atau difahami karena mungkin baru membaca atau mendengar diksi-diksi tersebut. Begitu pun dengan sistematika urutan dan penulisan buku kurang detail, tidak disetai pendahuluan, isi dan penutup, serta tidak di detailkan bab per babnya.

Identitas Buku

Judul Buku                               :  ARAH TATANAN BARU: Hidup di Era Pandemi dan Sesudahnya.

Dewan Redaksi                       :  Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta, dan Sholahuddin Nurazmy

Penerbit                                   :  Yayasan Sanggar Inovasi Desa

Cetakan                                   :  Pertama,  Agustus 2020

Ukuran Buku                          :  13  x 19 cm

Tebal Buku                             :  xxxviii + 122 halaman

Judul Resensi                           :  Desa Menjadi Kiblat Peradaban Baru

Resensator                               :  Junaedi, S.E.


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

JUNAEDI, S.E., Lahir 06 Januari 1974, Lulusan S1 STIE Widya Wiwaha Yogyakarta (1999), bekerja di Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID) Panggungharjo Sewon Bantul DI Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *