Sastra

Cerpen: Membakar Jejak

Ilustrasi: pxfuel.com

“Sebagai penegak hukum, kami bersyukur karena di desa ini, tidak ada lagi kasus pencurian seperti dahulu. Ini semua berkat Pak Mudin yang telah berhasil membangun desa dan menyejahterakan masyarakat,” tutur Bapak Kapolsek, saat memberikan sambutan di tengah kegiatan rapat desa. “Ke depan, semoga warga desa senantiasa bersinergi dengan pemerintahan desa, sehingga keamanan tetap terjaga dan kesejahteraan terus meningkat.”

Para warga pun merespons dengan anggukan-anggukan sepakat.

Menyaksikan keadaan itu, Mudin tampak begitu senang.

Pada waktu-waktu belakangan, Mudin memang semakin merakyat. Dengan sikap yang ramah, ia akan melayani warga dengan sebaik-baiknya. Ia sama sekali tak membeda-bedakan warga karena alasan apa pun. Ia bahkan menolak dan menentang apabila ada warga yang ingin diistimewakan atas dasar hubungan kekeluargaan, apalagi sogokan materi.

Tak pelak, sikap Mudin menular pada semua jajarannya. Tidak ada lagi aparat desa yang berani mencari-cari uang suap dengan cara mempersulit warga dalam mendapatkan pelayanan. Pasalnya, kalau ada yang ketahuan bekerja secara tidak profesional, apalagi sengaja bertindak culas, maka Mudin tak segan memberikan sanksi yang keras, bahkan pemecatan.

Akhirnya, kini, kehidupan warga jauh lebih baik daripada sebelum atau di masa awal pemerintahan Mudin. Para warga tampak semakin aman dan sejahtera. Tak ada lagi protes-protes kecewa, sebab ia memimpin dengan seadil-adilnya. Tak ada pula kejahatan karena urusan perut, sebab ia amanah dalam menyalurkan bantuan sosial dan dana desa.

Lebih dari itu, Mudin bahkan menjadi sosok yang dermawan. Ia tak segan-segan menyumbangkan gajinya untuk kepentingan sosial dan agama, atau menyedekahkannya kepada warga yang masih membutuhkan sokongan keuangan. Bahkan aku tahu betul bahwa ia sering menyantuni orang yang kurang mampu atau janda-janda tua secara diam-diam.

Atas kepemimpinan dan kepribadian Mudin yang baik, aku akhirnya meyakini bahwa ia akan terpilih kembali pada pemilihan kepala desa mendatang. Prestasinya sudah jelas di antara bakal calon yang masih menawarkan janji. Masyarakat pun telah menyaksikan bahwa kepemimpinannya telah memberikan dampak positif yang signifikan untuk kehidupan mereka.

Tetapi sebagaimana manusia, Mudin juga punya masa lalu. Aku yang dahulu menjadi teman dekatnya, tahu betul tentang sejarah kelamnya. Dahulu, ia adalah partnerku dalam menggarong isi kebun atau ternak warga. Bahkan dari aksi itulah, ia mendapatkan dana yang cukup untuk menjamin kemenangannya pada pemilihan kepala desa.

Sebagai orang kepercayaannya, aku pun tahu soal permainan politiknya pada proses pemilihan tersebut. Aku tahu bahwa menjelang pemilihan, ia telah menyogok sejumlah warga dengan tuak dan segala macam makanan, agar mereka memilihnya. Bahkan ia telah mengkoordinasikan beberapa orang agar melancarkan serangan fajar kepada para warga yang keimanan demokrasinya masih dapat digoyahkan dengan rupiah.

Sebagai penguasa yang lahir dari kejahatan, akhirnya, pada awal pemerintahannya, Mudin pun menjadi tameng para penggarong. Kala itu, pencurian isi kebun dan ternak warga, menjadi semakin marak. Itu karena para pencuri merasa aman untuk berbuat semaunya atas posisi Mudin sebagai pemimpin masyarakat sekaligus bos mereka.

Hebatnya, Mudin selalu bisa melindungi para anggotanya di tengah masyarakat. Ia memiliki keterampilan bersilat lidah yang luar biasa. Ia bisa tampil sebagai pengayom para pencuri, sekaligus sebagai pengasih para korban pencurian. Ia jago memoles citranya dengan meramu peristiwa pencurian sebagai ajang untuk menunjukkan kepeduliannya kepada warga.

Atas kelihaiannya pula, sekian lama, Mudin berhasil menutupi boroknya dari pengetahuan masyarakat. Ia mampu menjadi penasihat yang menentramkan hati para warga untuk tidak melaporkan perkara pencurian ke polisi. Alasannya, berurusan dengan hukum hanya berarti memperkarakan sesama warga desa yang barangkali masih memiliki hubungan keluarga.

Untuk meredam protes-protes para warga di tengah para berandal yang terus saja menggarong, secara diam-diam, Mudin pun memanfaatkan dana desa untuk mengganti kerugian para korban pencurian. Ia bahkan sering memberikan uang pengganti yang lebih dari nilai kerugian para korban, agar rahasianya aman dan nama baiknya terjaga, bahkan semakin harum.

Untungnya bagi Mudin, masyarakat yang menjadi korban pencurian akan merasa damai dan tidak menaruh curiga atas cara penanggulangannya dalam menyelesaikan masalah itu. Mereka yang sebagian berpendidikan rendah dan sangat menghormati Mudin sebagai pemimpin, mayakini saja bahwa uang ganti rugi tersebut memang berasal dari kantong pribadi Mudin.

Tetapi akhirnya, kesemrawutan pengelolaan dana desa, membawa Mudin pada perkara yang serius. Ia kelimpungan mempertanggungjawabkan keuangan desa, hingga membuat pengawas pemerintahan desa dan penegak hukum menaruh curiga. Itu karena rencana pembangunan dengan kenyataan di lapangan, tampak tidak sesuai.

Tak lama kemudian, penyelidik pun mulai mendatangi kantor atau rumah Mudin. Mereka mengamati catatan anggaran dan menyelisik wujud realisasinya. Hingga akhirnya, Mudin harus bertandang ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan, sebab para penyelidik mulai menemukan indikasi terkait adanya penyelewengan anggaran.

Di tengah posisinya yang semakin terdesak, akhirnya, Mudin pun bertandang ke rumahku. Kami lalu berdiskusi perihal bagaimana cara untuk menghentikan pengusutan kasus itu. Beberapa saat kemudian, setelah mempertimbangkan matang-matang, kami pun sepakat untuk melenyapkan bukti-bukti terkait kasus tersebut dengan cara yang aman.

Akhirnya, selama tiga malam berturut-turut, para penggarong yang juga takut terseret kasus, beraksi melancarkan rekayasa penjarahan isi kebun dan ternak. Beberapa kemudian mengaku sebagai korban dan melapor ke polisi. Tak pelak, laporan-laporan tersebut menumpuk di kantor polisi dan membuat para petugas kewalahan.

Sampai akhirnya, penanganan tumpukan kasus pencurian itu menjadi tersendat. Selama berhari-hari, hingga berminggu-minggu, polisi tak juga membekuk seorang pun pelaku. Mereka bahkan kewalahan untuk mengumpulkan bukti dan keterangan saksi. Pasalnya, mereka sama sekali tidak punya sangkaan bahwa para korban dan pelaku, tak lain adalah sesama pengggarong yang kami kerahkan untuk merekayasa kasus dan mempermainkan mereka.

Hingga akhirnya, kami pun tiba pada penghujung rencana besar kami. Pada satu malam, kami menghasut para warga yang tidak tahu apa-apa untuk menyeruduk kantor polisi dengan alasan kecewa atas proses penanganan kasus pencurian. Lalu sesuai rencana, ratusan massa yang marah itu kemudian membakar kantor polisi, hingga menghanguskan semua berkas pemeriksaan dan alat bukti, termasuk yang terkait kesemrawutan pengelolaan dana desa kami.

Sejak saat itu, kasus tersebut akhirnya lenyap, seolah tak pernah ada.

Seketika pula, Mudin mulai berbenah diri untuk menyudahi kemunafikannya. Ia lantas meneguhkan hati untuk menjadi orang yang benar-benar baik. Ia bahkan berhasil mengajak para anggota komplotan penggarong untuk mengikuti jalan tobatnya. Ia telah berhasil membangun perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan, sehingga tidak ada lagi warga yang terpaksa mencari penghidupan dengan cara yang salah.

Akhirnya, para warga hanya mengenal Mudin sebagai kepala desa yang tak punya rekam jejak yang buruk.

Kini, setelah rapat desa yang dihadiri Bapak Kapolsek selesai, Mudin pun kembali ke ruangannya dengan perasaan tenteram. Ia lantas duduk dan meneguk segelas kopi, kemudian menuturkan harapannya dengan raut sendu, “Semoga aku terpilih lagi pada pemilihan kepada desa yang akan datang, dan kau akan kembali menjadi pembantuku di pemerintahan, sehingga kita kembali punya kesempatan untuk mengikis dosa-dosa kita kepada warga.”

Aku yang kini menjabat sebagai kepala urusan keuangan di pemerintahannya, kemudian menimpali dengan harapan yang sama, “Semoga, Pak.”

Ia lantas mengembuskan napas yang panjang dengan sikap yang tampak merenung-renung. “Semoga pula, pada akhirnya, kita tercatat di sisi Tuhan sebagai orang yang baik.”

“Semoga, Pak,” timpalku lagi.***


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di beberapa media daring.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *