Sastra

Meditasi: Puisi-puisi Sulaiman Djaya

Ilustrasi. (Mattia Faloretti/Unsplash)

MEDITASI
Puisi Sulaiman Djaya

Januari merapihkan daun-daun tuanya
Jadi musim dan siklus baru
Menyusun kembali tahun-tahun
Yang menghuni semesta matamu.

Sebagaimana keluguan mereka
Aku ingin menemukan cara
Untuk mencintaimu tanpa kata-kata,
Tanpa perumpamaan.

Dari nestapa dan kegembiraan
Puisi ada dan dituliskan.
Dan ketika aku memikirkanmu
Kamus-kamus bahasa ikhlas terbuka.

(2022)


AMSAL JANUARI
Puisi Sulaiman Djaya

Yang terindah dari Januari:
Ketabahannya menanggung rindu
Jadi gerimis.

Disiramnya segala yang terluka
Dengan kepedihannya
Yang setia.

Didendangkannya sebuah lagu
Yang hanya bisa didengar
Oleh mereka

Yang sedang jatuh cinta
Seperti ketika sepasang matamu
Syahdu berkata-kata.

(2022)


DI DUNIA MESIN

Di halte dan stasiun, orang-orang menunggu:
ada yang tampak gembira.
ada yang terlihat muram,
ada yang terkantuk,
ada yang membunuh sepinya
dengan berpura-pura

bahagia.
Dan kebanyakan dari mereka
tak saling menyapa
apalagi berbicara.

Si perempuan belia begitu asik
dengan gawainya, juga barangkali
sekedar menyembunyikan kegelisahannya
dengan sebuah mesin.
Aku pun menunggu, dan seringkali bosan
di dunia yang justru menyediakan

segala hal. Dan anehnya, banyak orang
mempercayai para pembual
yang berjualan agama
layaknya para pedagang obat kuat.

Ke mana suaraku?
Di mana bahasaku? Kenapa orang-orang
lebih suka dihasut oleh mereka
yang jualan agama
di tivi-tivi, di youtube
seperti robot dengan tubuh mekanik

yang ditombol segelintir penipu.
Di dunia mesin,
orang-orang tak sanggup berpikir
karena telah menjadi mesin.

(2019)


UMUR KATA

Aku rindu ricik air
Di batu-batu
Masa kanakku. Kapuk randu
Yang terhambur.

Matahari bermain
Dengan unggas
Ibundaku
Dan para serangga

Beterbangan di lalang
Yang hilang.
Aku rindu masa kecil
Ketika belum kukenal

Bahasa yang
Dijadikan senjata
Oleh mereka
Yang menganggap hidup

Sekedar benda-benda
Untuk dibeli
Dengan kertas bergambar.
Aku rindu pagi

Yang bernyanyi
Di ranting-ranting
Yang disentuh matahari
Setelah gerimis

Subuh hari.
Ketika kubaca dunia
Dari kata-kata doa
Yang didaras ibunda.

(2019)


DI KEBON SIRIH

Di pedestrian rindang ini, aku pernah membeli
segelas plastik kopi dari seorang ibu,
duduk menunggu seseorang
dan kini seperti
belum lama terjadi
cahaya matahari yang sama
luruh bersama daun-daun kering
disapu seorang bapak
seakan menyapu puing-puing nasib

atau sesosok malaikat memunguti luka-luka
kebiadaban sejarah manusia
dalam perpustakaan yang seringkali
ditulis dengan dusta

dan aku bertanya: tentang apa
puisi mesti ditulis?
Ketika lalu-lalang perempuan-perempuan belia
berseragam dan para pedagang asongan
sama nyatanya di hadapan mata.
Seakan ini kali kesekian aku percaya
bahwa perumpamaan bukan sesuatu tentang
yang tak ada.

Barangkali, seperti ketika aku,
terkenang diam matamu
di kota yang lain, selalu saja, pada akhirnya
yang bagiku senantiasa indah
adalah ketika lelaki jatuh cinta
pada perempuan yang belum dikenalnya
yang memberinya tuah kata
dan bahasa
untuk menuliskan riwayat hidupnya.

(2019)


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

Lahir di Serang, Banten. Menulis esai & fiksi. Tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, serta berbagai media cetak dan online lokal maupun nasional. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai & puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.