Pak Junaid dengan sorot mata bertanya-tanya, ia memandang sebuah amplop putih di tangannya. Perlahan ia mengeluarkan secarik surat yang segera ia baca. Ia menarik napas dalam-dalam, membacanya dengan perlahan dan tak lama ia memantaskan wajah dengan raut gembira. Matanya berbinar bahagia.
“Saya tunggu di ruang kerja saya besok, akan saya bantu semua kesulitan Bapak, tetapi saya berharap Bapak bisa membantu saya kembali.”
Begitulah kesimpulan yang Pak Junaid tangkap dari surat yang ia terima dari Pak Kosim petugas kebersihan di sekolah yang akan mengeluarkan anaknya. Perasaan bahagia memancar dari mata Pak Junaid yang mulai berkaca-kaca. Tak terasa air matanya mengalir membasahi pipi keringnya, ia mengusapkan kertas di tangannya hingga menutupi seluruh wajah, seakan barulah selesai memanjatkan doa setelah sembahyang.
Keesokan harinya, Pak Junaid bersama anak semata-wayangnya, dengan penampilan seadanya menemui kepala sekolah. Mereka berdiri di hadapan ruang kerja kepala sekolah yang tidak lama pintu ruangan itu terbuka. Di dalam ruangan hanya ada mereka bertiga, Pak Heri selaku Kepala Sekolah, Pak Junaid dan anaknya. Pak Junaid berharap melalui pertemuan itu, ia bisa menyelesaikan permasalahan yang menimpa anaknya.
“Mohon maaf Pak, kiranya apa yang harus saya lakukan untuk bisa membantu anak saya agar tidak dikeluarkan dari sekolah ini, Pak?” Pak Junaid dengan kepala sedikit menunduk menawarkan diri kepada Pak Heri.
“Saya akan bantu kesulitan Bapak, tapi Bapak juga harus membantu saya,” Pak Heri tenang menjawab.
“Baik Pak, apa pun itu akan saya lakukan demi anak saya ini,” Pak Junaid menatap anaknya.
“Begini Pak, Bapak tau pohon beringin yang ada di belakang perpustakaan sekolah ini kan?” tanya Kepala Sekolah.
“Nah, beringin itu sudah terlalu besar dan merusak fasilitas sekolah khususnya perpustakaan. Saya harap Pak Junaid bersedia untuk menebang beringin itu, bagaimana?”
Pak Junaid terdiam.
“Di kota ini cukup sulit mencari orang yang mau menebang pohon beringin. Bapak juga pasti tau bahwa di kota ini ada hukum pamali untuk menebang beringin,” Pak Heri membuka peci mengeluh.
“Dan saya dengar Bapak pernah bekerja dengan almarhum Pak Usuf sebagai penebang pohon.”
“Iya Pak betul,” Pak Junaid mengangguk.
“Saya juga tau betul tentang pamali yang menimpa orang yang berani menebang pohon beringin. Walau begitu akan saya lakukan, Pak. Demi anak saya satu-satunya ini, Allah pasti membantu saya,” Pak Junaid menepuk pundak anaknya. Ia meyakinkan diri.
Sepanjang perjalanan pulang dengan tatapan penuh harap kepada anak semata-wayangnya, ia menggantungkan janji kepada diri sendiri untuk berusaha bagaimana pun caranya agar anak semata-wayangnya bisa menyelesaikan sekolah, sekali pun ia harus melawan pamali.
Pak Junaid tau betul bahwa anaknya adalah anak yang sulit diatur. Tetapi selain anak itu, kepada siapa lagi ia akan menyimpan harapan untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga.
Mentari hari Minggu hangat menyinari pelataran rumah Pak Junaid, ia dengan langkah pasti pergi meninggalkan rumahnya. Di pundaknya, sebuah gergaji mesin berkilauan tersorot matahari. Gergaji itu ia sewa dari keturunan Pak Usuf. Di tangannya, dua buah botol, air minum dan oli bekas pelumas gergaji mesin bergesekan.
Di jalan desa, lalu-lalang masyarakat yang hendak pergi ke kebun atau pasar saling bertukar sapa. “Nebang pohon lagi, Pak?” tanya seorang pejalan kaki.
“Mau nebang di mana pagi-pagi begini?”
“Iya nih Pak Kosim. Mau gimana lagi Pak, saya kan udah gak kerja lagi di pabrik,” Pak Junaid memindahkan Gergajinya ke atas pundak yang lain.
“Dan Alhamdulillah hari ini saya harus nebang pohon beringin di tempat Pak Kosim bekerja,” Pak Junaid dengan tersenyum menjawab.
Mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Pak Junaid, sontak Pak Kosim menghentikan langkahnya yang diikuti oleh Pak Junaid. Dalam benak Pak Kosim, terpikir sebuah surat dari Kepala sekolah yang ia berikan kepada Pak Junaid beberapa hari yang lalu. Apa memang surat yang kemarin saya antar ke rumah Pak Junaid, isinya soal penebangan pohon beringin pagi ini?
Pak Kosim meminta Pak Junaid untuk tidak mengerjakan pekerjaan itu, tetapi permintaan itu dengan cepat mendapatkan penolakan dari Pak Junaid. Ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Pak Junaid, sampai berani mengambil perintah dari Kepala sekolah untuk menebang pohon beringin. Ia dengan semangat menceritakan mitos beringin dan terus menerus meminta Pak Junaid untuk mengurungkan niatnya.
Menurut Pak Kosim, siapa saja yang berani mematahkan dan membawa satu bagian dari pohon beringin akan ditimpa kesialan hidup, seperti penyakit yang tidak bisa diobati atau dirasuki mahluk gaib seumur hidupnya dan bisa jadi membawa kematian. Terlebih jika ada yang berani menebangnya.
“Saya berbicara seperti ini karena peduli, Pak,” ucap lelaki itu berusaha menyadarkan.
“Iya Pak, terima kasih atas kepeduliannya. Ini saya lakukan demi anak saya, Pak,” Pak Junaid membalas dengan senyuman.
“Ah, Bapak memang keras kepala. Ingat, saya sudah mengingatkan!” lelaki itu, dengan raut wajah tidak puas pergi menuju arah yang berbeda dengan Pak Junaid.
Di belakang perpustakaan sekolah, pohon beringin tumbuh perkasa. Besar batangnya empat kali lipat dari pohon kelapa. Daun-daunnya lebat berwarna hijau tua, menjadi rumah bagi ulat bulu Limacodidae, sejenis ulat yang menimbulkan rasa gatal dan perih seperti terbakar jika terkena kulit manusia.
Akar beringin bergelantungan menggapai genteng perpustakaan sekolah hingga tanah. Akar-akar itu lebih menyerupai puluhan lidah yang kompak akan menyantap gedung perpustakaan dengan perlahan-lahan. Beringin itu tumbuh memayungi gedung perpustakaan selama bertahun-tahun,
Pak Junaid dengan bibir gemetar, ia memanjatkan doa keselamatan dan merapalkan beberapa ajimat yang sering diucapkan dahulu, sebelum menenabang pohon. Pikirannya terus dibayang-bayangi oleh cerita mistis tentang pohon beringin dan wajah anak semata-wayangnya.
Sekuat tenaga ia memantapkan hatinya. Ia berusaha mengingat kembali petuah-petuah yang ia dapatkan dari ustad Isro yang sebelumnya sudah ia temui selepas berjamaah salat subuh di masjid.
“Ya Allah, izinkan hamba untuk menebang pohon beringin ini dan jagalah keselamatan jiwa dan raga hamba dari gangguan mahluk penghuni pohon ini. Amin,” dengan kepala menunduk, Pak Junaid mengelilingi pohon beringin sembari menumpahkan air doa yang ia dapatkan dari ustad Isro.
“Wahai penghuni beringin, berpindahlah ke dalam botol di genggamanku, akan ku pindahkan kalian ke tempat yang layak serupa tempat ini.” Pak Junaid sembari mengepal sepotong kayu beringin berukuran kecil terbungkus kain berwarna putih, ia menggoyang-goyangkan tangan kanannya di udara, tangan kirinya gemetar memegang botol berbahan kaca.
“Bismillahirrohmanirrohim.” Pak Junaid menutup botol dengan sepotong kayu beringin yang dibungkus kain berwarna putih.
Selepas melakukan ritual yang disarankan oleh ustad Isro, Pak Junaid mulai menaiki anak tangga yang terbuat dari bambu, bersandar ke batang pohon beringin. Tak lama, mesin gergaji bergetar meraung-raung menyala, suaranya melengking memenuhi angkasa. Satu persatu dahan beringin terpisah dari batangnya. Ia tak henti-hentinya memanjatkan doa keselamatan dalam hatinya. Tak memakan waktu lama beringin itu kehilangan ribuan daun yang memayungi batangnya.
Gergaji mesin berhenti bersuara, dahan-dahan pohon selesai ia tebang. Beringin itu kini gundul, tidak ada lagi ranting, daun, dan akar bergantungan yang sebelumnya menutupi genteng perpustakaan sekolah.
Merasa sudah selesai di bagian dahan, Pak Junaid menuruni anak tangga bambu. Barulah dua anak tangga ia injak, tali sela untuk menghidupkan gergaji mesin menyangkut di lekukan batang beringin, seketika gergaji mesin kembali bergetar. Sontak Pak Junaid menjatuhkan gergaji dari pangkuannya, tak lama ia pun kehilangan keseimbangan.
“Bruk.” Pak Junaid terlempar bersama dengan tangga bambu yang jadi pijakannya. Gergaji mesin terlempar hingga merobohkan satu pohon pisang yang jaraknya tak jauh dari tempat ia jatuh. Ia merasa kesakitan, tangan kirinya lecet terbentur tanah. Orang-orang yang kebetulan lewat hanya menyaksikan. Mereka tidak berani mendekat apalagi membantu, karena mitos beringin sudah mengakar di pikiran mereka. Meraka khawatir kejadian serupa akan menimpa mereka, jika harus membantu Pak Junaid.
Hampir satu jam lamanya Pak Junaid menenangkan diri. Dalam hatinya doa-doa selalu terpanjatkan, walaupun jauh dalam pikirannya ingin segera menyelesaikan pekerjaan yang cukup menguras mental dan fisiknya.
Pak Junaid kembali menarik tali untuk menghidupkan mesin gergaji dengan sekuat tenaga. Nahas mesin itu tidak segera menyala. Dengan menahan rasa sakit ditangannya, ia hampir pasrah, tak lama melalui percoban yang entah keberapa, mesin kembali bergetar menyala.
Potongan demi potongan berjalan tanpa kendala. Pak Junaid melepaskan baju yang sudah basah dengan keringat. Matahari siang itu membuat keringat semakin deras keluar dari pori-porinya. Pak Junaid mengusap keringat yang mengucur di alis dan hidungnya, dengan handuk kecil berwarna biru tua yang melingkar di leher.
“Semua ini demi anakku,” gumamnya.
Matahari tepat di atas kepala Pak Junaid, berigin itu tumbang seutuhnya. Batang besar itu kini menjadi potongan kecil yang saling menimpah. Pak Junaid merasa ada yang tidak beres dengan kondisi tubuhnya, tetapi ia mengabaikan perasaan itu. Ia segera merapikan potongan batang, ranting juga daun-daun beringin yang berserakan ke tempat beringin itu tumbuh, ia tidak mau mengambil resiko.
Selepas salat Magrib, Pak Kosim bertamu ke kediaman Pak Junaid, kehadirannya disambut dengan baik oleh Pak Junaid. Dengan tatapan bertanya-tanya ia memandang Pak Junaid teliti, matanya menelusuri setiap anggota tubuh Pak Junaid yang terbungkus sarung dan kaos oblong berwarna putih kekuning-kuningan. Ia merasa bahwa orang yang saat ini menyambut dan berdiri di hadapannya bukan Pak Junaid yang ia kenal.
Aroma balsem menyegat keluar dari tubuh Pak Junaid, wajahnya yang berwarna merah dan bengkak, terlalu menakutkan untuk dipandang. Bolong hidungnya hanya tersisa seukuran sedotan pelastik kecil, mata kanannya tertutup rapat. Bentolan itu sampai membengkakan bibir atasnya, hingga bibir itu menyentuh hidung. Seluruh anggota badannya tertutup bentolan besar berwarna merah.
Menyaksikan pemandangan mengenaskan tepat didepan matanya, Pak Kosim berteriak sambil terbirit-birit pergi meninggalkan Pak Junaid. Dilemparkannya sebuah amplop putih ke sembarang arah, seakan ia sudah tidak peduli lagi dengan tujuan utama mengunjungi rumah Pak Junaid. Pak Junaid dengan rasa perih yang memenuhi tubuhnya berlari mengejar Pak Kosim, sampai akhirnya ia pasrah untuk mengejar karena tak tahan menahan perih di sekujur tubuhnya.
“Junaid terkena kutukan beringin,” Pak Kosim mengulang-ngulang kalimatnya sambil berlari.
Mendengar teriakan Pak Kosim, warga berlarian menghampirinya. Setelah mendengarkan informasi yang Pak Kosim sampaikan, beberapa dari mereka menghampiri rumah Pak Junaid untuk memastikan keadaannya, sisanya pergi menemui ustad Isro. Suasana kampung tiba-tiba mencekam setelah kabar tentang kutukan beringin yang menimpa Pak Junaid itu menyebar.
Pak Junaid mengambil sebuah amplop yang dilemparkan oleh Pak Kosim, dengan rasa perih yang menggerogoti sekujur tubuhnya. Ia duduk bersandar pada tiang di teras rumahnya, ia menatap dengan sorot mata sayup sebuah amplop putih yang berisi surat dari Kepala Sekolah dan beberapa lembar uang berwana merah menyala.
Oleh: Taufik Rohmatul nsan