Opini

Dari Soren Kierkegaard Hingga Fariduddin Attar

Oleh: Sulaiman Djaya, Pengurus Majelis Kebudayaan Banten.

Dengan Kierkegaard saya ingin berbicara tentang “Komunikasi Tak Langsung”. Dalam pembacaan saya dengan komunikasi tak langsung ini Kierkegaard mengijinkan tulisannya menjadi subjek tersendiri, yang kemudian menjadi teman dialog dengan pengarang itu sendiri. Seperti yang diutarakan Kierkegaard:

“….dalam karya-karya bernama samaran itu tak ada satu kata pun yang merupakan kataku. Aku tidak mempunyai pendapat tentang karya kecuali sebagai orang ketiga, tidak mengetahui artinya kecuali sebagai pembaca, tak ada hubungan pribadi yang paling jauh sekalipun dengan karya-karya itu.

Yang saya maksud di sini adalah Kierkegaard menggunakan gaya dan bentuk surat cinta, yang sebenarnya tulisannya tidak dimaksudkan untuk seseorang tertentu. Hanya saja dengan ini pembaca kemudian menjadi terlibat dan bergulat langsung, lazimnya setiap surat cinta akan selalu memungkinkan pembacanya lebih istimewa dari penulisnya sendiri.

Komunikasi tak langsung inilah yang menjadi salah satu alasan Kierkegaard menggandrungi nama-nama samaran. Tulisan yang ditulis dengan nama samaran itu pun kemudian dikutip pada tulisan berikutnya dengan nama samaran yang lain. Kierkegaard telah mebebaskan tulisan-tulisannya (anak-anaknya) tersebut dari “the father” (pengarang) dan menjadi teman-teman dialog bagi Kierkegaard sendiri. Ia telah memberikan otonomi pada tulisannya.

Komunikasi tak lansung yang dimaksud Kierkegaard sendiri merujuk pada kitab suci yaitu Yesus dan filsuf Yunani, Sokrates. Komunikasi tak langsung berarti juga ada yang tidak bisa dikomunikasikan dengan bahasa biasa, konsep, atau metafor. Konsep itu sendiri adalah metafor. Dan metafor itu sendiri adalah konsep. Dan metafor itu sendiri malah akan semakin mengaburkan apa yang ingin dipinjamkan sebagai makna, sebagaimana konsep mereduksinya dalam simplisitas, koherensi, dan universalisasi.

Laku Kierkegaard memperlakukan konsep-konsep objektif secara regressif yang tidak lain adalah sifat swadestruktif bahasa untuk menyibakkan kemiskinan bahasa hanyalah untuk menjelaskan ironi dan paradoks yang melekat pada subjek. Derrida menyebutnya sebagai aporia. Klaim objektivitas dan universalitas tidak lebih dari laku pengingkaran ironi dan paradoks tersebut.

Dalam kesusasteraan Timur saya teringat Fariduddin Attar: O! Engkau yang menghargai kebenaran, janganlah mencari kias. Dan: O! Kearifan! Engkau tak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini. Dan Ibnu Arabi: O, Lord, Increase my perplexity concerning Thee. Baik metafor atau pun konsep sama-sama reduktif. Cerminan langsung dari upaya yang gagal untuk mengatasi kemiskinan bahasa.

Lebih lanjut menurut Kierkegaard, baik Yesus atau pun Sokrates menginvestigasi setiap orang secara personal, melucuti segala sesuatu dari orang tersebut, dan menyuruhnya pergi dengan tangan kosong tanpa ada satu pun kebenaran yang dimilikinya kecuali kebenaran subjektif yang disebutnya sebagai kebenaran eksistensial. Kebenaran jenis ini menurutnya tidak dapat dikomunikasikan. Dengan menyadari ini Sokrates mengemukakan diktumnya yang terkenal: Aku tidak tahu apa-apa! Dan ketidak tahuan ini jauh lebih banyak dari yang diketahui.

Menurut Kierkegaard apa yang diajarkan Sokrates dan Yesus tidak memiliki isi objektif dan menjadi kondisi negatif yang menjadi jalan untuk belajar tentang individu itu sendiri. Metode seperti ini dengan sendirinya akan mengguncang keseimbangan. Dan di tangan Derrida metode ini beralih nama menjadi dekonstruksi.

Semangat ini saya temukan juga pada pemikiran Nietzsche: ….man has for long ages believed in the concept and name of things as in the aeternae veritates he has appropriated to himself….he really thought that in language he possesed knowledge of the world. Bahwa tafsir atas peristiwa, fakta, atau bahkan teks, jika saya menggabungkan fakta dan peristiwa atau keseluruhan kenyataan itu sendiri hanyalah sebuah usaha untuk melakukan metonimi, penamaan, bahkan dogmatisasi.

Tentang hal ini Derrida menyatakan peristiwa sebagai:….another name for experience, which always experience of the other, the event is what does not allow itself to be subsumed under any other concept, not even that being. A ‘there is’ or ‘let there be something rather than nothing’ arises from the experience of the event, rather from thinking of being. The happening of the event is what cannot and should not be prevented: it is another name for the future itself.

Dalam pandangan Derrida jika peristiwa adalah apa yang datang menuju, maka peristiwa tidak dapat direduksikan ke dalam kategori esksistensi. Dengan inilah terjadi kemungkinan tentang apa yang akan datang, differance, tidak dapat diapropriasi, tak dapat diramalkan, dan melampaui antisipasi. Differance berpangkal pada sesuatu yang lain, dalam pengertian alteritas. Pada singularitas yang lain. Pada yang akan datang dan yang tak terduga. Sementara itu Kierkegaard memandang eksistensi sebagai kebisuan setelah ketakberdayaan analisis.

Kierkegaard sebenarnya tengah mengkritik filsafat Plato yang melulu melakukan konseptualisasi dalam filsafat forma-nya. Bagi Kierkegaard jika hanya apa yang dapat dikonseptualisasikan itu dapat dipikirkan, maka eksistensi tidak dapat dipikirkan. Sebab eksistensi selalu konkrit dan tidak pernah abstrak.

Pada akhirnya berbicara tentang pengetahuan dan kebenaran tidak bisa dilepaskan dari subjek dan bahasa. Sebentuk aporia. Tentang ketakberdayaan untuk merengkuh kebenaran. Pada Derrida dan Heidegger hal ini memiliki semangat teologis atau juga religius dengan kentalnya nuansa messianistik: kemasadepanan yang tak teramalkan dan tak dapat diprediksi. Sebagaimana Nietzsche layaknya sang biarawan, yang kemudian memberikan konsekuensi kenabian untuk mengatasi agama. Mengalihkan orientasi dari dunia sana pada dunia sini.



Heidegger dan Foucault misalnya bersikap kritis terhadap gagasan tentang “diri” Cartesian dan “otonomi-agensi” Kantian. Menurut Foucault subjek tereduksi dalam sejumlah fungsi wacana. Dan kebebasan harus dipahami sebagai kekuatan untuk mempertanyakan apa yang nyata-nyatanya terberi begitu saja. Dan untuk menemukan dunia-dunia baru yang sebelumnya tidak ditemukan hanya dapat dilakukan lewat menulis. Subjek harus dibaca sebagai produk tradisi atau pemikiran sebelumnya. Subjek terlempar dalam dunia yang sudah terdefinisi dan terberi.

Jika mau dicermati dengan keprihatinan yang sungguh-sungguh, perbincangan tentang subjek dan bahasa ini mendapatkan tempat yang istimewa dalam eksistensialisme dan filsafat kontemporer. Dalam eksistensialisme pengaminan ke-aku-an begitu kental. Sementara dalam filsafat kontemporer, ke-aku-an dan otentisitas individual ini dicurigai sebagai sumber kekerasan dan otoritarianisme. Tetapi eksistensialisme telah menyumbangkan suatu wawasan baru dalam pemikiran dan filsafat: kebenaran sangat terkait erat dengan persoalan bahasa dan modus mengada manusia seperti yang ditegaskan Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger.

Menurut Nietzsche misalnya selama berabad-abad manusia mengira dirinya telah menemukan kebenaran, padahal yang sesungguhnya adalah mereka hanya berusaha mengatasi bahasa. Mereka mengira telah merengkuh kebenaran, padahal hanya mengemukakan segugus prasangka yang dikiranya sebagai kebenaran.

Pada Kierkegaard dasar eksistensi atau pengalaman bukan hanya kesadaran, akan tetapi juga kekaburan. Jika saja kesadaran ada dalam kelangsungan, maka kelangsungan adalah aktualitas itu sendiri. Sementara ujaran atau konsep hanya idealitas tentangnya. Kesadaran adalah oposisi dan kontradiksi. Pada saat seseorang mengekspresikan realitas, oposisi ada di sana. Karena itu kemungkinan keragu-raguan terletak dalam kesadaran. Dan kemungkinan keragu-raguan itu dihasilkan oleh dan menghasilkan duplisitas. Memang ada kepastian dan kelangsungan dalam sensasi, tetapi kepastian langsung ini akan hilang segera ketika pengalaman diekspresikan dengan bahasa dan pikiran.

Pada titik ini filsafat Kierkegaard koheren dengan filsafat Nietzsche. Bahasa bukanlah realitas. Ada suatu pengalaman yang tidak dapat direngkuh oleh bahasa dan pikiran. Berpikir tentang sesuatu atau membahasakannya (menamainya) adalah memperlawankannya dengan yang lain. Dalam kesadaran, aktualitas dihadapkan pada apa yang tidak ada (kemungkinan). Dengan sendirinya kesadaran adalah perbenturan antara aktualitas dan kemungkinan.

Menurut Kierkegaard kata doubt (keraguan) secara etimologis berkaitan dengan doubleness (kerangkapan). Kesadaran bukanlah bentuk kepastian sebagaimana yang diandaikan Descartes, melainkan suatu bentuk ketidakpastian. Kesadaran bukanlah mengatasi keragu-raguan. Melainkan suatu bentuk keragu-raguan itu sendiri. Karena dalam kesadaran apa yang ada dipertanyakan.

Kesadaran seperti yang dikemukakan Kierkegaard tersebut merupakan artian Heraklitus: Anda tidak mungkin berdiri di sungai yang sama dua kali pada waktu yang sama, yang disebut Sartre sebagai ketidakjujuran. Karena ada sejenis ketakutan dalam kesadaran. Menurut Sartre kesadaran adalah suatu spontanitas tak berpribadi. Kesadaran ditakuti oleh spontanitasnya sendiri.

Dalam eksistensialisme isu kemewaktuan dan kemengadaan dalam dunia begitu kentalnya. Dan pemikiran atau pun pengetahuan sesungguhnya dihidupi oleh bahasa sekaligus oleh kemiskinan bahasa itu sendiri.

Pada Nietzsche kebenaran adalah subjektivitas dan perspektivitas. Muncul dari segugus horison yang berbeda-beda yang jumlahnya bertebaran. Kebenaran hanyalah fungsi ‘mengada’ dan harus dilihat sebagai hubungan-hubungan. Kebenaran adalah sesuatu yang tanpanya manusia tak bisa hidup. Tak lebih sebagai fungsi pelestarian manusia. Dan mengalami puncaknya pada hasrat untuk berkuasa (Will to Power). Nietzsche sendiri dengan gamblang menyatakan bahwa hasrat yang paling kuat pada manusia bukanlah hasrat untuk hidup dan mengada, akan tetapi hasrat untuk berkuasa. Sementara kebenaran dan pengetahuan hanya kedok dan fungsi untuk berkuasa.

Tetapi di mata Heidegger baik filsafat modern atau pun eksistensialisme masih menjadikan manusia sebagai pusat untuk berfilsafat, yang pada akhirnya melahirkan cara pandang teknologis. Dunia ada hanya untuk manusia, bukan untuk yang lainnya. Dan cara pandang ini pada akhirnya berujung pada kekerasan dan kerusakan lingkungan.


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

Lahir di Serang, Banten. Menulis esai & fiksi. Tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, serta berbagai media cetak dan online lokal maupun nasional. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai & puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *