Oleh: Sulaiman Djaya, Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten
Hujan berlari-lari riang dan barisan tiang-tiang lampu di jalan di depan rumah merenungi kesepian. Sesekali angin yang berhembus kencang bersama hujan kuandaikan sebagai keriangan pula. Kemarin aku berjalan di stepa yang meranggas, daun-daun jati kering sesekali diterbangkan angin. Sebagian lainnya telah hancur terinjak-injak binatang seperti oleh gerombolan kambing desa tetangga.
Hamparan stepa yang kini ditanami pohon-pohon jati itu adalah tempat kami bermain dulu, yang sekarang telah dimiliki sebuah pabrik kertas. Di stepa sebelahnya, mereka menanam pohon-pohon pinus yang mana sebagian besar pohon-pohon pinus telah mereka tebangi karena lahan dan stepa tempat mereka menanam pohon-pohon itu akan mereka jadikan sebagai bangunan baru. Di stepa itu aku dan teman-temanku berburu para jangkerik yang akan kami pelihara karena bunyi mereka di kala malam merupakan hiburan tersendiri bagi kami. Biasanya kami akan memelihara jangkerik-jangkerik itu dalam toples kaca.
Aku teringat ketika ibuku merebus ubi jalar selepas hujan karena tak ada beras yang bisa ditanak. Ubi-ubi berwarna ungu dan merah jambu itu terasa enak sekali di saat kami lapar sebab belum menyantap menu apa pun sejak pagi. Bagi kami yang ketika itu menahan lapar hingga malam bila tak ada beras yang bisa ditanak atau dimasak di tungku, ubi-ubi rebus itu kami santap dengan lahap sebab terasa sangat enak di saat kami sangat lapar. Ibuku-lah yang menanam ubi-ubi tersebut dan ia pula yang memanennya dan lalu merebusnya di dapur dengan api yang ia sulut pada kayu bakar yang telah ditaburi sedikit minyak tanah.
Aku tiba-tiba teringat peristiwa di masa kanakku itu saat kuseduh segelas kopi hitam selepas hujan, di mana dulu kami biasa menyeruputnya sembari menikmati ubi jalar dan singkong yang direbus ibuku. Kami menyantapnya dengan duduk melingkar di atas tikar pandan dan diterangi lampu-lampu minyak jika kami menyantap dan menikmatinya di waktu malam. Kopi yang kami nikmati di masa-masa itu bukan kopi yang kami beli dari para pedagang atau dari warung, tapi kopi yang kami buat dari biji-biji Rosella, tanaman Rosella yang ditanam ibuku. Ingatan akan peristiwa-peristiwa itu kembali muncul di saat ibuku telah tak ada. Mungkin benar bahwa orang yang begitu berarti bagi kita akan senantiasa hadir dalam ingatan dan kenangan kita ketika orang tersebut telah tiada. Klise memang. Tapi benar adanya. Dan sungguh ketabahan dan kesabaran ibuku tak pernah dikalahkan, dan ia selalu menang saat menghadapi kesulitan. Seperti ketika padi-padi yang ditanamnya terserang hama dan penyakit. Padi-padi itu menua sebelum waktunya dan biji-biji mereka tak berisi. Meski demikian, masih ada yang bisa diselamatkan yang kelak akan menjadi nasi yang kami santap.
Barangkali pengalaman-lah yang telah membuat ibuku mengantisipasi keadaan. Ia tak hanya menanam padi, tapi juga berkebun ubi dan singkong yang akan menjadi menu makan kami sebagai pengganti nasi bila terjadi paceklik atau gagal panen karena hama dan penyakit yang menyerang padi-padi yang ditanamnya.
Di pagi hari, sisa ubi rebus itu akan digoreng oleh ibuku, dan rasanya sangat gurih dan empuk, seperti keju dan kerupuk yang berpadu jadi satu. Dengan begitu, tidak adanya beras yang ditanak bukan berarti kami kelaparan dan tidak makan. Kami percaya Tuhan tidak zalim dan maha adil, dan karenanya apa yang ada di semesta dan tumbuh di bumi tidak-lah Ia cipta secara sia-sia.
Ketika itu adalah hari-hari di bulan pacrklik, ketika ia memanen buah Rosella, sementara kupu-kupu yang hinggap di salah-satu pohon Rosella yang ditanam dan dirawatnnya dengan penuh kasih sayang tampak bergembira, yang warna sepasang sayapnya seperti susunan ragam tamsil karena cahaya matahari senja. Kupu-kupu itu sesekali terbang, lalu hinggap lagi, kadangkala berpindah atau pindah kembali ke pohon Rosella yang sama, lalu terbang lagi, sebelum akhirnya pergi ke tempat yang ingin ia ziarahi.
Keesokan harinya ia akan menjemur biji-biji Rosella itu dengan tikar yang ia sulam dari sejumlah karung bekas, dan akan mengangkatnya selepas asar, sebelum menggoreng dan menumbuknya bersama anak-anaknya menjadi bubuk kopi yang akan dibungkus dengan plastik-plastik kecil yang ia beli dari warung. Kakak perempuanku-lah yang akan memasukkan bubuk kopi Rosella itu, sedangkan aku yang menjahit ujung plastik itu dengan cara mendekatkannya ke semungil nyala lampu minyak.
Kami sudah terbiasa hidup bersahaja dan memperoleh rizki dari Tuhan dengan perantaraan tanaman ciptaan Tuhan yang ditanam dan dirawatnya dengan tekun dan sabar: Rosella, kacang panjang, tomat, labuh, paria, ubi jalar, kacang tanah, dan lain-lain yang kemudian ia jual setelah ia mengunduh dan memanennya. Aku hanya bisa membantunya sepulang sekolah atau ketika hari libur sekolah, meski kadangkala aku absen untuk membantunya dan lebih memilih untuk bermain dan menerbangkan layang-layang, berburu jangkerik, atau berburu para belalang yang kesulitan untuk terbang karena air yang melekat di sayap-sayap mereka dan yang tergenang di hamparan sawah-sawah di kala hujan atau selepas hujan bersama teman-temanku yang sama-sama belajar di sekolah dasar yang sama.
Hidup kami sendiri memang seperti kupu-kupu di senjakala yang mengimani kesabaran dan ketabahan sebagai keharusan yang tak terelakkan. Tahukah kau kenapa aku mengumpamakannya dengan kupu-kupu? Aku akan menjawabnya. Kupu-kupu, juga para kumbang, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang ikhlas bekerja dan dengan takdir mereka sebagai para pengurai dan penyerbuk kembang dan bunga.
Kehadiran para ngengat dan serangga itu merupakan berkah bagi kami yang mengais rizki dari hidup bertani dan menanam sejumlah tanaman yang buah-buahnya dapat dijual ke orang-orang yang datang ke rumah dan ke kebun. Keberadaan mereka adalah siklus alam dan kelahiran bagi para petani. Mereka, para kupu-kupu dengan sayap-sayap ragam warna di kedua sisi lengan mereka, akan datang tanpa diundang bila tanaman-tanaman yang ditanam para petani telah berbunga, entah mereka datang di pagihari atau di senjahari.
Di saat-saat senggang, bila ia tidak sibuk di sawah, dianyamnya daun-daun pandan di pagi hari hingga azan zuhur berkumandang dari sebuah mesjid yang dilantangkan dengan menggunakan speaker bertenaga ACCU, lalu setelah zuhur dan setelah menyiapkan makan siang bagi anak-anaknya, ia mulai menganyam lagi, dan daun-daun pandan kering yang dianyam dengan jari-jemari tangannya yang cekatan dan sabar itu telah menjelma tikar di saat senja. Di hari yang lain ia akan mencari kayu-kayu kering yang jatuh dari pohon-pohon sepanjang pinggir jalan atau mematahkannya jika ranting-ranting dan dahan-dahan kering itu masih bertengger di pohon, dan adakalanya ia memotong sejumlah dahan pohon, yang kemudian ia potong-potong dan ia belah untuk dijemur dan dikeringkan. Kayu-kayu kering itu ia gunakan untuk menyalakan dapur bila ia memasak. Di malam harinya, yang ia lakukan setiap malam selepas sholat magrib, ia akan mengajariku yang kala itu masih berusia lima tahun untuk menyebutkan dan mengeja huruf-huruf hijaiyyah dan membacakan surat-surat pendek dalam Al-Quran.
Sebagai seorang perempuan desa, ia hanya lulus sekolah dasar saja, yang di masanya disebut Sekolah Rakyat (SR). Meskipun ia hidup sederhana dan bersahaja, orang-orang di kampungnya menghormati dan mencintainya, orang-orang kampung tidak akan menghina karena kesederhanaan dan kesahajaannya, karena kakek dari anak-anaknya adalah lelaki terpandang, dan orang kaya yang memiliki sawah terbanyak. Ia perempuan yang setia dan akrab bersama pohon-pohon Rosella yang ditanam dan dirawatnya, selain pohon-pohon lainnya yang ia tanam untuk kebutuhan makan sehari-hari keluarganya dan untuk dijual, seperti kangkung, tomat, kacang dan jenis tumbuh-tumbuhan sayur lainnya. Setelah itu, selepas ia sholat isya, ia akan berdoa, yang terdengar seperti keluhan yang samar, seperti seseorang yang mengadu kepada malam yang sunyi, basah, dan senyap. Kesabaran dan ketabahan yang dimilikinya pastilah karena cintanya kepada anak-anaknya, selain rasa tanggungjawabnya sebagai seorang ibu.
Di hari itu ia hanya menyediakan sambal, nasi, dan sayur saja, tanpa tempe dan ikan asin seperti biasanya. Ia berkata kepada anak-anaknya bahwa tak ada lagi uang untuk membeli kebutuhan makan mereka, dan karena sejumlah tanaman yang ditanam dan dirawatnya belum waktunya untuk dipanen, dan karena itu tak ada yang bisa dijual. Tapi, barangkali, bagi orang-orang desa yang terbiasa hidup sederhana dan bersahaja itu, sayur berkuah banyak, nasi, dan sambal saja sudah cukup bagi mereka sekedar untuk menghilangkan rasa lapar.
Anak yang ketika itu telah bersekolah di sekolah menengah pertama merasa kecewa ketika mendengar apa yang ia ucapkan, karena aku hendak meminta uang kepadanya untuk membeli buku bagi keperluan sekolah, sekedar buku catatan, di saat buku-buku catatan sekolahku memang sudah penuh dengan catatan-catatan pelajaran sekolah. Barangkali, dapatlah dikatakan, ia adalah seorang perempuan yang haruslah diistilahkan sebagai ibu dalam segala hal bagi keluarganya yang dicintainya dan dipertahankannya dengan kesabaran dan ketabahan dalam kesederhanaan dan kesahajaan sebagai orang desa, orang yang sudah terbiasa akrab dengan keterbatasan dan alam.