Sulaiman Djaya, Pengurus Majelis Kebudayaan Banten
CERPEN, BANTENHEJO.COM – Dengan langkah teratur, agak sedikit berlari, sembari menutupi kepalanya dengan salah satu tangannya, ia datang ke halte di mana aku duduk, dan tanpa berkata sepatah kata pun sekedar untuk menyapaku, ia duduk di sebelahku. Tubuhnya tak terlalu tinggi, tapi juga tak terlalu pendek. Mengenakan rok yang ujungnya menyentuh kedua lututnya. Aku perhatikan rambutnya sedikit agak basah. Gugusan rambut hitam yang cukup indah dan tertib.
Awalnya aku ragu untuk memulai menyapanya –sekedar untuk menghilangkan kebosanan dan kejenuhanku dalam keadaan menunggu selama setengah jam lebih itu, namun akhirnya kuberanikan juga untuk memulai perbincangan, sebuah percakapan untuk mengusir kesepian dalam cuaca dingin yang membuat tubuhku menggigil itu.
“Mau pulang ke mana, Mbak?” tanyaku mengawali kebekuan dan kebisuan dalam gerimis itu.
“Ke Pondok Labu…..” ia menjawab tanpa menolehkan wajahnya ke arahku.
“Kebetulan kita satu arah….” ujarku.
“Mas pulang ke mana?” ia akhirnya merasa tertarik untuk melakukan perbincangan.
“Ke Ciputat….” jawabku.
Namun, ketika ia mulai menolehkan wajahnya ke arah wajahku, aku dirundung malu yang tak terkira, dan jantungku tiba-tiba berdebar kencang.
“Hei…..kamu kan, Yahya Hasan?” ia berkata dengan agak berteriak.
“Kamu lupa sama aku yah?”
“Kamu lupa sama aku yah?”
Sungguh aku tak menyangka jika ia adalah perempuan teman lamaku. Tiba-tiba aku menjadi kikuk, dan diserang gundah begitu saja. Menjadi seorang lelaki tolol tanpa alasan yang jelas. Rasa kikukku karena aku hanya seorang lelaki yang tengah magang jurnalistik, sementara dia bekerja sebagai pegawai bank dengan gaji yang cukup besar.
“Tak usah malu sama aku seperti itu, donk….Yahya!” Ia malah menggoda, dan kupikir saat itu wajahku memerah, sehingga ia tersenyum dan hampir menertawaiku karena kecanggunganku yang terjebak dalam situasi yang lebih mirip kecelakaan yang tak kuinginkan itu.
Ketika itu ia justru semakin bertambah cantik, lebih cantik dibanding saat aku mengenalnya untuk pertama kali di sebuah kampus ketika aku masih seorang mahasiswa, dan kami memang tak bertemu selama sekira sepuluh tahun, sebelum akhirnya ia datang tanpa kuduga ke halte di mana aku duduk sendirian dalam keadaan kesepian, bosan, dan menunggu itu.
“Kamu masih tetap cantik, dan bahkan semakin cantik dengan pakaian seragam kerjamu yang kau kenakan saat ini,” ujarku demi menutupi kecanggunganku sebagai lelaki yang tiba-tiba jadi tolol dan canggung.
“Sudah lama di Jakarta?” tanyanya kepadaku.
“Tiga bulan lebih…” jawabku.
“Aku saat ini bekerja di Bank Indonesia.”
Bank yang ia sebutkan tempat ia bekerja itu berada di seberang jalan dari halte tempat kami bertemu secara kebetulan tersebut. Rambutnya kini lebih panjang, melewati punggungnya, sementara rain coat yang ia kenakan semakin membuatnya tampak anggun dan berwibawa.
Aku merasakan malu ketika ia menanyakan apa pekerjaanku, sebab aku memang hanya seorang pekerja magang di sebuah media di kawasan Kebon Sirih, tempat yang tak jauh dari tempatnya bekerja di Bank Indonesia itu.
Tak kusangka, saat aku terjebak dalam hujan di sore itu, aku pun terjebak pada pertemuan dengan seorang perempuan yang tak kuinginkan untuk bertemu dalam situasi seperti itu, karena hanya akan menambah luka kenangan bagiku.
Entah perasaan apa yang ada di hati dan benaknya saat itu, hingga ia mengajakku untuk menikmati senja itu dengan sedikit obrolan.
“Boleh kan aku mentraktirmu setelah bertahun-tahun kita tak bertemu?” tanyanya kepadaku.
“Hmmmm…..gimana yah, aku harus sampai di tempat di mana aku ngontrak saat Isya…” jawabku demi menghindari ajakannya dengan halus dan sopan.
“Ayolah… kita kan sudah lama tak bertemu… Apa salahnya sekali ini saja kita ngobrol,” ia malah terus mendesakku, “ada beberapa hal yang ingin kuceritakan padamu setelah sekian lama kita tak bertemu,” lanjutnya.
Aku tak punya cara dan siasat lagi untuk mengelak ajakannya, dan kami pun akhirnya memilih sebuah warung, tepatnya kafe kecil, yang tak jauh dari halte di mana kami bertemu tanpa sengaja itu, sekedar menikmati kopi kesukaanku dan kopi kesukaannya untuk menghangatkan badan kami yang kedinginan sembari kami berbincang, berbicara secara bergantian, meski ia yang paling banyak berbicara dan menceritakan ihwal dirinya selama kami tak bertemu selama bertahun-tahun.
“Saat ini aku sudah menikah, punya anak dua, dan suamiku untuk saat ini sedang ada proyek di luar Jakarta sampai beberapa bulan ke depan,” celotehnya.
“Ia seorang insinyur sipil dan saat ini ia sedang ada tugas di Semarang untuk membangun sebuah Hotel,” ia terus saja berbicara, sementara aku hanya mendengarkan saja.
“Sejak pertemuan terakhir kita, aku sebenarnya masih berharap untuk bertemu denganmu dua tahun setelahnya, dan ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga di tahun ketiga sejak pertemuan terakhir kita itu, aku bertemu dengan lelaki yang kini jadi suamiku.”
Aku hanya patuh mendengarkan ceritanya, sembari sesekali menyeruput kopi Nescafe hitam kesukaanku dan menghisap rokok kretek kesukaanku.
“Sebelum kami menikah, kami sempat pacaran dulu selama enam bulan, dan di bulan ketujuh ia mengajakku bertunangan, dan ia datang kepada kedua orang tuaku untuk melamarku,“ demikian kisah yang diceritakannya kepadaku.
“Kamu sendiri gimana? Apakah kamu masih memikirkanku setelah pertemuan terakhir kita itu?” tanyanya padaku.
Saat itu aku masih merasa kikuk dan canggung, bahkan untuk sekedar menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan yang diajukannya.
Obrolan itu berlangsung satu jam saja sampai kami menyudahinya karena memang pada akhirnya kami harus pulang ke tujuan kami masing-masing. Aku sempat memandanginya ketika ia memasuki taksi yang akan membawanya pulang itu.
Sejak obrolan pertama kami setelah sekira sepuluh tahun tak bertemu itulah, kami sepakat bahwa kami akan melakukan hal yang sama di setiap hari Sabtu sore di tempat yang sama, dan itu kami lakukan selama tiga bulan kemudian. Dan di pertemuan terakhir kami di Sabtu sore di tempat yang sama itu, aku katakan kepadanya bahwa masa magangku di sebuah media yang kantornya berada di kawasan Kebon Sirih itu telah berakhir, dan karena media tempat kami magang itu telah dibeli orang lain, maka dengan sendirinya aku tak jadi jurnalis dan penulis di media di mana aku magang selama enam bulan tersebut seperti yang kuharapkan sebelumnya, dan karenanya aku akan pulang kembali ke Banten.
Ia agak sedikit kecewa dengan apa yang kukatakan itu, dan berkata:
“Kalau begitu, aku akan kehilangan teman ngobrol akhir pekanku donk!? Tapi apa boleh buat,” ucapnya, “aku tak mungkin mencegahmu untuk pulang. Dan aku berterimakasih karena selama ini kamu telah menemaniku di setiap akhir pekanku,” lanjutnya, “sebab aku butuh teman sekedar untuk sharing saja ketika suamiku sedang bekerja di luar Jakarta, dan hanya kamu yang aku percaya, karena aku tahu kamu pasti tidak akan berbuat melampaui batas, meski kau pernah menyukaiku dan aku pun pernah menyukaimu dan memiliki perasaan terhadapmu.”
Demikian ia menutup pembicaraan di Sabtu sore dalam pertemuan terakhir kami setelah perjumpaan kebetulanku dengannya di halte itu.