Oleh: Sulaiman Djaya, penyair
Ketika masih hidup, almarhumah ibu saya mengisi waktu luang sebagai petani dan ibu rumah tangga, (sempat mengajar ngaji untuk beberapa waktu lamanya) selepas nyantri di Cibeber dan Pelamunan di kawasan Cilegon dan Kabupaten Serang, dengan membuat perabot rumah-tangga dari material bambu: cepon (wadah nasi), irig (alat untuk mencuci sayuran dan lainnya), tampah (alat untuk membersihkan beras dan lainnya) hingga kipas manual.
Teknologi tradisional masyarakat kita adalah contoh dan wujud paling nyata proses produksi komoditas tanpa residu, tidak seperti industri modern yang menghasilkan banyak residu yang membahayakan lingkungan dan manusia. Serat-serut bambu sisa proses pembuatan perabotan rumah-tangga itu bahkan bisa digunakan untuk menyalakan dapur di masa dulu itu, dedek geni dalam bahasa Kragilan, Kabupaten Serang, Banten-nya, hingga untuk pemantik membakar arang pemanggang ikan atau nyundut areng dalam bahasa Kragilan Kabupaten Serang, Banten-nya. Dan kini bisa digunakan untuk bahan material memproduksi komoditas lainnya.
Teknologi dan kerajinan kreatif tradisional masyarakat kita tentu juga wujud artistik kepertukangan (craftsmanship) dan kepengrajinan. Manifestasi dari alam-pikir inovasi seni-budaya masyarakat kita. Itulah kenapa teknologi tradisional masuk dalam 10 bidang objek Pemajuan Kebudayaan Republik Indonesia. Ketika datang era industri dan pabrik modern di Kragilan, seperti Indah Kiat, generasi muda enggan mewarisi kearifan lokal tersebut. Sebuah warisan kultural yang sesungguhnya menjadi alternatif ekonomis di tengah gempuran produk-produk yang dihasilkan dari proses yang menghasilkan residu yang berbahaya.
Untungnya, beberapa kaum ibu, masih menghidupkan kecakapan kepengrajinan tersebut, dan kami akhirnya bersepakat untuk mengembangkan dan memajukan warisan industri ramah lingkungan tersebut, minimal melestarikannya, dengan mengandaptasikannya sesuai konteks dan selera komoditas jaman saiki.
Tentu saja, para pengrajin itu akhirnya diberikan pengetahuan dan skill baru yang sebelumnya tidak mereka ketahui, melalui workshop dan pelatihan, hingga mereka pun diadaptasikan untuk mengopresikan mesin yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi saat ini –hingga studi banding ke Yogyakarta dan tempat lainnya. Mereka pun diberikan skill dan wawasan untuk mampu menciptakan ragam produk atau komoditas yang sebelumnya tidak mereka buat, dari mulai tas, aksesoris hingga cenderamata.
Selain keterbatasan informasi, pengetahuan, dan skill mutakhir, para perajin tradisional itu juga tidak bisa menjangkau pasar luas ketika banyak memproduksi komoditas dari material bambu di masa-masa lalu mereka. Hanya di sekitaran tetangga kampung atau tetangga desa saja.
Menyadari kenyataan tersebut, Kepala Desa Tegal Maja Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang Provinsi Banten yang kebetulan teman seangkatan dan satu sekolah saya ketika di SMPN 1 Kragilan dan kemudian bekerja ke Korea Selatan sebelum terpilih dalam suksesi pemilihan kepada desa, mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan industri kreatif berbasis kearifan lokal, yang kadangkala mendiskusikannya dengan saya.
Tentu saja saya menyambut dan mendukung gembira gagasan pemberdayaan masyarakat desa untuk melestarikan dan mengembangkan warisan kearifan lokal dan teknologi tradisional dari material bambu tersebut agar lebih produktif dan lebih berkualitas hingga bisa menjangkau pasar yang lebih besar dan lebih luas pula.
Hal itu sudah merupakan tanggungjawab pemerintah, dan tentu saja harus dimulai dari inisiatif dan kemauan kuat pihak kepala desa serta aparatur pemerintah desa yang bertanggungjawab untuk memajukan desanya.
Alhamdulillah, setelah kerajinan komoditas perabot rumah tangga dan komoditas lainnya dari material bambu itu mulai dikenal, pembangunan infrastruktur jalan pun mulai digalakkan, dan desa yang hampir hilang dan dihilangkan dari peta oleh industrialisasi modern pun tidak tercapai. Yang terjadi malah sebaliknya, pembangunan infrastruktur publik menjadi lebih baik, dan tentu saja sedikit mengurangi pengangguran dengan menghadirkan industri dan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.