Oleh: Sulaiman Djaya, pembaca ragam khazanah
Pengalaman pertama saya secara aktif dengan dunia aktivitas penyiaran radio adalah saat mendampingi teman saya menjadi host Radio Dimensi 94.9 FM Serang, Banten di kawasan Kepandean Kota Serang, Banten, sebagai narasumber tetap yang mengulas persoalan gaya hidup dan tren anak-anak muda, termasuk para pelajar di sekolah menengah.
Itu di masa tahun 2007 hingga 2009-an, sebelum radio itu kini tidak lagi eksis karena alasan finansial dan gagap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tanpa saya sadari, saat itu sebenarnya saya telah memasuki arena dan disiplin ‘kajian budaya’ ketika ‘ngobrolin’ sekitaran gaya hidup dan kebiasaan anak-anak muda, termasuk para pelajar, di kota kecil di Banten –ibukota sebuah provinsi yang saat itu masih berusia muda.
Di waktu-waktu tertentu, halaman radio itu juga acapkali menjadi tempat lesehan diskusi sastra dan pentas seni, seperti yang diisi oleh almarhum Wan Anwar dan pentas teater oleh Teater Studio Indonesia yang diasuh oleh almarhum Nandang Aradea –juga para pegiat sastra dan seni lainnya yang memanfaatkan halamannya untuk hajatan sastra dan seni-budaya.
Ternyata, di luar memberikan informasi dan hiburan musik kepara pendegarnya, radio juga bisa bermanfaat untuk menyebarkan inspirasi kreatif dan edukasi, sebagaimana dulu radio juga bermanfaat untuk berkomunikasi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ketika itu, Radio Dimensi tempat saya nimbrung ikut on air bersebelahan dengan kantor Koran Radar Banten, sebelum kantor koran Radar Banten itu pindah dan lebih megah. Sebuah media yang saat itu masih merupakan bagian dari grup Jawa Pos.
Setelah Radio Dimensi itu tidak eksis, saya tetap kongkow dengan teman-teman pegiat sastra dan seni, seperti komunitas-komunitas sastra dan teater, semisal Kubah Budaya, Teater Kafe Ide dan lainnya. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2017, saya diminta menjadi narasumber yang juga ngobrolin seputar seni dan budaya di Radio Serang Gawe 102.8 FM.
Bermula dari diminta sebagai narasumber itulah, kemudian saya berlanjut menjadi ‘penyiar tamu’ atau ‘pengasuh’ program siaran Sastra Malam di Udara di tahun 2018 setiap hari Kamis atau Malam Jum’at dari pukul 20.00-23.00 WIB. Hanya saja, saya sempat tidak bisa aktif untuk program itu di tahun 2019 hingga 2020 karena beberapa sebab, termasuk menjalani terapi dan pengobatan selama satu tahun karena penyakit yang saya derita.
Saya kembali aktif di program siaran Sastra Malam di Udara Radio Serang Gawe 102.8 FM pada bulan Maret hingga Dessember 2021. Setelah itu, saya kembali ke habitat dan kebiasaan saya: kongkow, membaca dan menulis, termasuk mencari nafkah.
Namun, setidak-tidaknya, pengalaman saya di radio telah mengajarkan beberapa hal, semisal diantaranya bagaimana saya bisa mengkomunikasikan khazanah pengetahuan dan bacaan saya yang dikondisikan dengan penerimaan publik dan bagaimana kita bisa memahami psikologi publik agar pesan yang ingin kita sampaikan diterima dengan baik.
Lebih jauh, berbicara tentang radio, sesungguhnya merupakan bagian dari pengalaman masa kanak-kanak dan masa remaja saya, seperti di era disiarkannya ‘monolog’ Uwak Kepoh dan sandiwara-sandiwara radio seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular. Sejak itulah saya tahu yang namanya Brama Kumbara, Lasmini, Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Nari Ratih dan lainnya yang merupakan tokoh-tokoh dan karakter-karakter dua sandiwara tersebut. Hingga kemudian saya tahu Mak Lampir dan Misteri Gunung Merapi.
Kenyataan itu sudah menunjukkan bahwa radio selain sebagai media dan instumen komunikasi massa modern, juga merupakan fenomena bahkan bagian industri budaya kapitalisme. Ketika musik dan seni disebarkan dan disosialisasikan di masa-masa itu melalui radio –sebelum digitalisasi informasi dan media sosial menggeser banyak hal di saat ini.
Ketenaran Raja Dangdut dan musik-musik Indonesia lainnya dari ragam genre juga dipopulerkan oleh radio di era itu, seperti Godbless, Koes Plus dan banyak lainnya. Tak jarang kami mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh dan Tutur Tinular secara bersama-sama sembari ngopi dan menikmati cemilan seperti ubi dan singkong rebus. Sesekali diselingi iklan Rokok Gentong: Kakek saya gentong, bapak saya gentong, paman saya gentong, dan saya gentong.
Almarhum bapak saya sendiri seringkali menyimak dan mendengarkan ‘monolog’ Uwak Kepoh di radio, yang memang mirip monolog yang dilakukan oleh Ki Dalang. Ke sawah pun saya tidak lupa membawa radio sebagai ‘media hiburan’ sembari bekerja membantu almarhumah ibu saya di saat menanam padi dan di saat memanen padi.
Adapun secara historis dari sisi kilas balik perkembangan teknologi, siaran radio yang menggunakan frekuensi FM sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 1930, namun baru bisa digunakan secara massif di tahun 1960-an. Meski daya jangkaunnya lebih rendah, siaran menggunakan frekuensi FM jauh lebih jernih dan jelas ketimbang menggunakan AM.
Sisi lain dari radio sebagaimana televisi, selain sebagai media penyebar industri budaya dan hiburan, bisa sangat disalahgunakan untuk menyebarkan propaganda hingga kebohongan. Sudah tentu, hal demikian harus dihindari.
Semoga radio tetap bertahan dan mampu beradaptasi di era perkembangan teknolog informasi saat ini, ketika ragam instrument teknologi informasi digital dan gawai telah menghadirkan dan menyuguhkan banyak ragam pilihan dan aplikasi informasi serta hiburan.