
Oleh: Sulaiman Djaya, Pemerhati Kebudayaan
Sewaktu kanak-kanak dan remaja, di kampung saya dan di kampung-kampung lain di sejumlah desa di kecamatan saya, di Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, Banten, bila ada yang menggelar hajatan seperti khitanan dan nikahan, biasanya mereka menyewa grup-grup wayang golek dan ubrug. Grup-grup itu acapkali mereka sewa dari Karawang, Subang atau dari Banten sendiri.
Digelar di malam hari dihadiri segala usia, termasuk saya, yang kadang lakon yang dimainkan dalang atau pentas ubrugnya dikomunikasikan dengan Bahasa Sunda dan Jawa Serang (Jaseng). Praktik dua bahasa itu sendiri di sekitaran wilayah saya sudah merupakan keunikan orang Banten Utara tempat saya tinggal. Meski kadang yang terbiasa Bahasa Jawa Serang dan tidak bisa melafalkan Bahasa Sunda, tetap bisa mengerti ketika ada saja orang atau tamu yang menggunakan Bahasa Sunda.
Lakon-lakon yang disuguhkan grup-grup itu bisa tentang tokoh-tokoh atau cerita wayang, namun ajaibnya diselingi dengan kisah-kisah keseharian, tentu saja dibarengi dengan banyolan yang sesungguhnya satir dan kritik yang dipinjam untuk menyampaikan edukasi atau pesan moral. Orang-orang duduk menghampar di tikar yang dibuat dari bahan yang sejenis bahan karung atau kadangkala tikar-tikar pandan yang disediakan sohibul hajat untuk para penonton. Dan biasanya yang paling laku adalah kacang goreng sebagai jajanannya.
Diantara lampu-lampu petromak yang disiapkan sohibul hajat dan damar (lampu minyak) para pedagang yang berjualan di sekitar area pertunjukan, suara dalang wayang golek dan para pemeran ubrug memang menyuguhkan karakter tokoh-tokoh hebat sekaligus wong cilik yang lugu dan lucu. Dan itulah sisi menarik dan memikat seni (teater) pertunjukkan rakyat bagi para petani yang hidup di desa kala itu.
Begitulah seni (teater) pertunjukan rakyat dalam pengalaman saya sebagai penonton di masa kanak-kanak dan remaja saya: seni pedagogis sekaligus hiburan yang membangun keakraban (guyub) dengan penonton dan dikomunikasikan dengan cerita dan bahasa yang dimengerti secara langsung oleh para petani di desa. Para penonton merasa terlibat ketika para pemeran kadangkala menyapa penonton dan bertanya kepada hadirin.
Cerita yang dipentaskan juga kisah kehidupan sehari-hari wong cilik atau jalma alit dengan nama-nama tokoh serta karakter yang juga akrab dengan kehidupan rakyat kecil atau para petani ketika itu, seperti Pak RT, Lurah, juragan gabah (bos padi), suami dan istrinya atau kisah kehidupan rumah tangga mereka yang bukan pejabat, di mana kisah-kisah dan ceritanya acapkali mengisahkan kesulitan dan keluh-kesah hidup mereka, yang tak lain merupakan kritik yang mereka sampaikan kepada orang-orang besar atau para perjabat mereka. Atau katakanlah aspirasi mereka agar hidup mereka tidak susah terus-menerus.
Dengan begitu, aksi panggung mereka sebenarnya lebih merupakan katalisator atau memang katarsis dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan para penonton, yang karenanya para penonton pertunjukkan merasa terwakili aspirasi mereka dan harapan mereka dalam hidup sehari-hari. Yang karena barangkali karena itu pula, sebelum televisi dan sinetron menggesernya, pertunjukkan atau pementasan ubrug di masa itu digemari, dan kerapkali diundang untuk mengisi setiap hajatan bagi keluarga-keluarga yang mampu menyewa jasa mereka.
Mereka juga adakalanya disewa dari biaya atau anggaran hasil gotong-royong masyarakat untuk mengisi acara-acara yang sifatnya diselenggarakan dengan guyub atau gotong-royong. Dan tentu seperti biasanya, pertunjukkan mereka dimulai dengan intro atau pendahuluan melalui musik dan tembang yang dilakukan oleh para pemusik dan sinden (penyanyi/biduan) sebelum para aktor memerankan tokoh-tokoh atau karakter orang-orang kecil dengan pakaian dan gaya yang lucu dan menghibur serta mengisahkan atau menceritakan kisah dan cerita kehidupan rakyat kebanyakan.
Bagi saya, ubrug adalah seni (teater) pertunjukkan rakyat yang dimainkan atau dipentaskan dengan cara interaktif bersama para penonton secara komunikatif ketika mereka hendak menyuguhkan hiburan untuk rakyat atau wong cilik. Ubrug memang kebalikan dari seni (pertunjukkan) borjuis (kelas menengah dan kelas atas) seperti drama yang dipentaskan di teater, konser musik klasik, dan ballet. Ubrug memang seni pertunjukkan rakyat yang canda dan cerita yang mereka komunikasikan dengan para penonton tidak sepi dari pesan moral dan kritik sosial.
Singkat kata, ubrug adalah teater rakyat yang ketika bermain dan mementaskan diri mereka memang sadar siapa yang menjadi penonton mereka. Orang-orang kecil yang juga membutuhkan hiburan atau ingin sejenak melupakan keluh-kesah dan keterbatasan ekonomi hidup sehari-hari mereka, sekaligus menjadi katalisator bagi aspirasi dan apa yang juga ingin disampaikan para penontonnya.
Membaca artikel ” Ubrug yang Guyub dan Lentur” seketika membuka ingatan saya pada masa kecil dan remaja. Saat itu tontonan yang sering disuguhkan di kampung adalah Wayang Golek dan Ubrug ” Topeng”. Orang kampung biasanya berduyun-duyun menyaksikan acara tersebut sejak waktu Isya sampai larut malam. Keasikan menikamti latunan lagu pesinden, tarian jaipong, dan diakhiri kisah keseharian wong cilik yang memang asik dan dekat dengan masyarakat. Hiburan itu sangat menghibur wong cilik selepas kerja di sawah dan mengakrabkan kampung yang satu dengan yang lain. Biasanya Ubrug ” Topeng tidak hanya ditonton satu kampung tapi kampung sebelah pun datang menyaksikan kesenian tersebut. O y, Ubrug itu diundang oleh yang punya hajatan atau tanpa di udang ‘ngadon’. Pokonya Ubrug menghibur kala itu. Seiring perkembangan zaman dan dunia hiburan di layar kaca Ubrug pun seakan lenyap.