Islam di Bumi Jawa merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas. Perpaduan harmonis antara ajaran Islam dan budaya Jawa telah melahirkan praktik-praktik keagamaan yang unik dan khas. Hubungan Islam dengan kebudayaan Jawa tidak dapat dipisahkan dalam hal apapun, karena demikian kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Islam adalah agama yang tampak bersifat adil.
Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke VII-VIII dari awal penyebarluasan sampai sekarang ini. Yang banyak dipelopori oleh para Wali Songo, kiyai, dan lain-lain. Proses penyebarluasan Islam di tanah Jawa ini di bawa oleh para pedagang, (perdagangan), sehingga Islam yang mempunyai keramahan paling tinggi, toleransi serta sopan santun, hingga mampu menaklukan masyarakat Jawa hingga merka memeluk Islam tanpa paksaan.
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa dari zaman dulu hingga sekarang masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah, karena begitu banyak orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan.
Tradisi dan kebudayaan masyarakat Jawa juga berpengaruh pada keyakinan dan praktik keagaaman. Tradisi dan kebudayaan masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha namun, Wali Songo mengubah dan menyesuaikan dengan keadaan budaya setempat. Walaupun ada sebagian ritual dan praktik keagamaan yang diganti dengan ritual yang berbau Islam, ajaran sebelumnya tetap diteruskan dan dilestarikan. Tentunya, dengan menyesuaikan dengan ajaran Islam yang baik dan benar.
Dari sekian banyaknya praktik keagamaan dan ritual-ritual masyarakat Jawa baik dalam pengaruh agama Hindu dan Buddha, Islam tidak serta merta mengubah ritual-ritual dan praktik keagamaan yang ada di masyarakat Jawa, akan tetapi Islam datang untuk menyatukan dengan budaya setempat.
Martin van Bruinessen, seorang antropolog dan pengarang asal Belanda yang menulis banyak tulisan tentang orang Kurdi, Turki, Indonesia, Iran dan Islam berasumsi bahwa bukan hukum Islam yang abstraklah yang menentukan segala masalah terkait kehidupan masyarakat dalam segi pernikahan, perceraian, warisan dan lain sebagainya. Melainkan adat dan budaya setempat, adatlah yang menentukan.
Di sisi lain terkait pandangan para tokoh tentang agama, seringkali Gus Dur mengatakan, di satu pihak agama dijadikan tolak ukur yang dapat membebaskan manusia dari suatu himpitan struktural tertentu, tapi tidak di hal yang lain. Bisa dipastikan agama memang mempunyai dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasannya itu cenderung lambat.
Praktik keagamaan terjadi di berbagai daerah, setiap agama memiliki praktik keagamaannya sendiri, karna itu adalah cara bagi mereka mendekatkan diri kepada Tuhannya. Praktik keagamaan yang dilakukan oleh agama Islam khususnya masyarakat Jawa ialah selametan, tingkeban, suroan, tedak siten dan maulud nabi.
Clifford Geertz adalah seorang seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat, dalam karya tulisnya yang berjudul The Religion of Java mengatakan bahwa, selametan menjadi ikon bagi orang Jawa umumnya bagi kalangan abangan. Namun, berbeda halnya dengan temuan Andrew Beatty seorang penulis buku Variasi Agama di Jawa, pada masyarakat jawa (Banyuwangi Desa Balambangan), di mana selametan dilakukan hampir oleh semua masyarakat Jawa.
Selametan dalam ritual dan praktik keagamaan bukan sekedar menyiapkan sesajen saja. Bagi masyarakat Jawa, ritual selametan adalah suatu totalitas, sepintas terlihat sederhana tapi kaya akan makna. Sebagaimana di katakan oleh Greetz “di pusat keseluruhan sistem orang Jawa, di sana terdapat ritual keagamaan sederhana, bentuknya formal, jauh dari kata dramatis, itulah selametan,” dan bahwa selametan dilakukan oleh kaum abangan dan pelaksanaannya di waktu malam hari setelah maghrib.
Namun dalam pandangan penulis, pandangan Geertz ini memiliki kelemahan di mana selametan ini hanya dikonotasikan pada kaum abangan saja. Tentu berbeda dengan pendapat Andrew Beatty yang mengatakan selametan bukan hanya dilakukan oleh kalangan abangan, akan tetapi dilakukan hampir oleh seluruh masyarakat Jawa.
Secara tradisi, selametan masuk dalam tradisi lokal. Menurut orang Jawa arti kata selametan berasal dari kata “selamet” yang memiliki arti “selamat”. Adapun tujuan dari ritual tersebut adalah untuk terciptanya keadaan sejahtera, aman, tentram, bebas dari gangguan mahluk halus, itulah keadaan yang disebut selamet. Dari pendapat di atas penulis dapat menympulkan bahwasanya, tradisi selametan adalah berakar dari dua tradisi, yakni tradisi Islam dan tradisi pra-Islam.
Selametan memiliki pola yang berbeda-beda dari segi penyajian makanannya, tergantung sedang menggelar selametan dalam rangka apa si pemilik hajatnya. Tuan rumah biasanya mengundang tetangga atau kerabat dekat misalnya ketika akan menggelar acara selametan pernikahan, kelahiran, kematian, pindah rumah, atau ganti nama. Biasanya tuan rumah sudah menyiapkan orang yang bisa memimpin doa dan tahlil, juga tak lupa dengan berkatnya.
Ketiga unsur itu tidak boleh terlewatkan, karena jika berkat tidak disiapkan maka tuan rumah akan mendapatkan celaan dari masyarakat setempat serta selametan dianggap kurang berkah. Karena yang terpenting inti dari selametan bukan berdasarkan doanya, melainkan sesajian yang disajikan berupa makanan.
Selain selametan, masyarakat Jawa juga kerap menggelar acara tingkeban. Tingkeban adalah upacara tujuh bulan untuk wanita hamil pertama. Ritual tersebut dilakukan ketika usia kehamilan sudah masuk ke tujuh bulan, biasanya dilakukan acara siraman, rujakan, dan membuat ayam panggang lengkap dengan nasi kuningnya. Tujuan dari acara tingkeban ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT karena telah dikaruniai seorang anak.
Setelah kelahiran anak, maka dilakukan rangkaian tasyakuran. Ritual tedak siten adalah ritual yang dilakukan masyarakat Jawa ketika bayi sudah bisa berjalan atau kaki menyentuh tanah, makna tradisi tedak siten adalah mengajarkan kepada si anak agar mampu menjalani kehidupan dengan baik dan benar sehingga, kesuksesan dapat diraih dengan baik dan benar. Rangkaian kegiatan tedak siten memberikan manfaat atau pelajaran kepada orang tua dan masyarakat bahwa, setiap kehidupan anak harus mendapatkan arahan dan tuntunan yang baik.
Pada bulan Suro, satu suro atau satu Muharram pada kalender Hijriah. Salah satu tradisi yang menarik perhatian masyarkat adalah suroan. Bagi umat Islam satu Muharram atau bulan Suro terdapat puasa sunah atau pusa asyura. Tradisi suroan merupakan napak tilas yang dilaksanakan Wali Songo yakni, adanya similasi budaya Islam dengan tradisi Jawa yang dilakukan pada masa Sultan Agung. Di bulan Suro, masyarakat melakukan berbagai kegiatan dengan beberapa istilah yang menjadi cirikhas masing-masing daerah. Aktivitas masyarakat di bulan Suro di antaranya: nyadran, bersih desa, ruwatan sukerta, petik laut, dan masih banyak lagi.
Salah satu tradisi Islam yang yang telah membudaya bukan hanya dari kalangan masyarakat Jawa saja, melainkan seluruh masyarakat Indonesia yang beragama muslim adalah muludan atau Maulid Nabi. Definisi muludan adalah memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, yakni tanggal 12 Rabiul awal. pada bulan mulud ini masyarakat biasanya berbondong-bondong bekerja sama membuat acara pengajian di setiap kampung guna memeriahkan dan menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam acara mulud ini momen bagi masyarakat saling memberi dan menyisihkan sebagian hartanya untuk memberi berbagai macam makanan kepada sesama, atau biasa di sebut nasi berkat.
Islam adalah sebuah nama bagi agama-agama yang ajarannya diwahyukan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT. Islam juga memiliki sifat yang mudah beradaptasi untuk tumbuh di segala tempat, sehingga interaksi agama dan budaya sangat erat hubungnnya, dengan tradisi kehidupan manusia sehingga agama mampu melahirkan budaya atau tradisi yang baru. Namun terjadinya akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai kebudayaan sebelumnya, akan tetapi memperkaya keanekaragaman di Indonesia. Kemudian masyarakat Jawa yang lebih banyak memeluk agama Islam dulu hingga sampai saat ini, bahkan masih saja ada (melekat tradisi atau budaya Jawannya).