Komunitas

Geliat Literasi Kubah Budaya

(Ilustrasi: pixabay.com/mirkostoedter)

Oleh: Ahmad Supena (Kajur PBI FKIP Untirta)

Sebagai insan akademis, pengajaran di ruang kelas sesungguhnya perlu ditambah dengan menghidupkan komunitas kreatif sebagai wujud dan manifestasi praktik berkarya sesuai dengan yang diajarkan di ruang kelas, yang haruslah juga diakui memiliki keterbatasan waktu dan jadwal. Dalam hal inilah, komunitas kreatif dalam kerja kepenulisan perlu didukung dan dihidupkan. Apalagi jika kita telah melihat dan mendapati dengan jelas para mahasiswa yang memiliki talenta berkarya, semisal talenta menjadi penulis yang baik dan berbakat.

Didirikan dan dihidupkannya Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) oleh almarhum Moh. Wan Anwar dkk memang dimotivasi oleh kesadaran demikian, ketika almarhum Moh. Wan Anwar melihat anak-anak didiknya di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa memiliki talenta untuk mengekspressikan pemikiran dan pengalaman, juga pelajaran yang telah mereka dapatkan, menjadi ragam bentuk karya sastra: dari puisi, prosa hingga esai.

Di sekretariat Kubah Budaya inilah mereka dapat berdiskusi, mengadakan kajian hingga mendatangkan para pakar untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, agar mereka mendapatkan cakrawala yang lebih luas demi menunjang dan mengembangkan keinginan dan talenta mereka untuk menulis, sembari diiringi dengan kesuntukan membaca.

Adapun di bulan Ramadhan tahun 2025 ini, Kubah Budaya mengadakan kajian dan diskusi kesusastraan dan kepenulisan sembari memperkayanya dengan wawasan dan khazanah Islam, yang seri pertamanya menghadirkan narasumber Sulaiman Djaya, penulis nasional, yang juga bergabung dengan Kubah Budaya di tahun ketiga setelah didirikannya Kubah Budaya. Sementara Mohammad Alfaris yang sewaktu mahasiswa di UGM merupakan penggerak pers mahasiswa, hadir sebagai panelis atau pembanding.

Alhamdulillah, diskusi dan kajian Ramadhan Kubah Budaya tahun 2025 sesi pertama itu dihadiri para mahasiwa dan teman-teman jurnalis, selain oleh para anggota Kubah Budaya sendiri, yang dilanjutkan dengan iftar bersama dengan sajian yang bersahaja namun dihiruk-pikuki oleh keakraban dan kegembiraan. Kubah Budaya pertama kali mengadakan kajian dan diskusi Ramadhan pada tahun 2008, ketika pendirinya masih nimbrung bareng bersama para narasumber dan para peserta diskusi.

Kami sadar, kerja kreatif dalam kepenulisan dan kebudayaan meniscayakan penguasaan khazanah dan pengetahuan yang komprehensif demi pencapaian produktivitas dan kualitasnya. Tanpa dukungan dan asupan wawasan dan khazanah yang bergizi dan luas, kerja kepenulisan hanya akan menghasilkan karya-karya yang kurang berbobot, hingga bahkan tidak memberikan kepekaan dan inspirasi-inspirasi baru bagi para pembaca atau penikmatnya. Kebutuhan kajian dan diskusi, yang pada akhirnya menuntut untuk kesuntukkan membaca, ibarat bahan bakar bagi kendaraan agar tetus bisa melaju dan berjalan.

Kajian dan diskusi Ramadhan Kubah Budaya adalah kajian dan diskusi berkala mingguan, diselenggarakan satu minggu sekali, selama bulan Ramadhan, dengan para narasumber yang telah memiliki prestasi kekaryaan di tingkat nasional. Mereka yang selama ini telah cukup dikenal sebagai para sastrawan atau para penulis yang berhasil mempublikasi karya-karya bermutu di banyak media nasional atau menerbitkan buku-buku mereka, termasuk buku-buku yang diterbitkan oleh Kubah Budaya.

Khusus di bulan Ramadhan, kajian dan diskusi Kubah Budaya memang menggali khazanah dan jejak kepenulisan dan kesusastraan dalam sejarah dan peradaban Islam, dan kebetulan di sesi pertama Kajian Ramadhan Kubah Budaya 2025 pada 8 Maret kemarin menghadirkan narasumber yang memang akrab dan suntuk dengan wacana dan khazanah ke-Islam-an, karena memang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kajian dan diskusi sesi pertama itu, narasumber mengupas dan memaparkan ‘Tradisi Intelektualisme dan Kepenulisan dalam Sejarah Islam’, di mana narasumber mengemukakan dengan sangat menarik bahwa sejarah Islam telah memberikan sumbangan signifikan bagi sastra dan sains dunia di Timur dan Barat. Berikut cuplikan paper diskusi yang dibagikan oleh Sulaiman Djaya sebagai narasumber kajian dan diskusi:

“Dari sejarah kita belajar bahwa sains dan ilmu pengetahuan tak sekedar kerja dan tugas profesional, namun lebih dari itu, sains dan ilmu pengetahuan adalah juga visi suatu bangsa atau masyarakat yang akan mengarahkan mereka ke masa depan. Ini selaras dengan beberapa larik puisinya Ferdowsi: “Karena ilmu dan pengetahuan, si tua renta jadi kuat perkasa”. Sains dan ilmu pengetahuan membuat kaum muslim atau masyarakat muslim menjadi berdaya dan lalu sanggup memimpin dirinya sendiri. Sains dan ilmu pengetahuan memungkinkan masyarakat muslim sanggup membangun masa depan mereka demi menegakkan harga diri masyarakat muslim itu sendiri. Menjadi masyarakat yang sanggup menegakkan diri dan tidak terdominasi secara hina.Untirta

Harga diri dan keberdayaan itu pula yang pernah dicapai oleh masyarakat muslim di masa Abbasiyah, sebagai contohnya, di mana para pemimpin mereka mendukung penelitian, pengkajian dan penulisan, sampai-sampai Pangeran Charles dari Ingris menyatakan dengan tulus dalam pidatonya di Universitas Oxford pada 27 Oktober 1993 bahwa dalam soal kemajuan sains dan peradaban, Barat sesungguhnya berhutang kepada Islam: “Jika ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang hutang peradaban dan kebudayaan kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini”.

Sumbangan besar para filsuf, ilmuwan, pujangga hingga faqih dari masyarakat dan Negara muslim itu memang sengaja ditutup dan tidak dituliskan secara massif dalam buku-buku pelajaran dan sejarah. Tidak terkcuali di institusi-institusi sekolah dan pendidikan kita yang memang mengadopsi materi ajar dan kurikulum Barat. Yang selalu diulang-ulang dalam pengajaran dan penyebaran informasi senantiasa para ilmuwan dan para penemu dari Barat, padahal peletak dasar sains modern peradaban kita adalah ilmuwan-ilmuwan muslim. Sumbangan dari suatu jaman dan masa ketika pemerintah dan masyarakat muslim menghidupkan dan mengembangkan tradisi intelektualisme dan penulisan.

Setelah kebohongan sejarah itu kini terungkap, ternyata yang pertama kali menemukan peredaran darah bukanlah William Harvey, tapi Ibnu Nafis, yang juga menemukan sirkulasi paru-paru. Penemu pertama aviasi bukanlah Leonardo Da Vinci, tapi Abbas Ibn Firnas, yang juga melakukan percobaan penerbangan pertamanya ratusan tahun sebelum para ilmuwan Barat menyempurnakannya. Begitu pula, peletak dasar ilmu kimia, di mana nama kimia itu sendiri berasal dari Bahasa Arab, adalah Jabir bin Hayyan, 900 tahun sebelum Robert Boyle menekuni penelitian kimia. Galileo Galilei berani menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata-surya, bukannya bumi, setelah berabad-abad sebelumnya ilmuwan muslim semisal Al-Biruni, justru berhasil membuktikannya secara matematis dan ilmiah.

Begitu selanjutnya, prestasi-prestasi itu dicapai secara gemilang oleh masyarakat muslim: kamera dan teknologi bendungan (waduk) ditemukan oleh Ibn Haitham, Al-Khawarizmi menemukan algoritma yang menjadi dasar teknologi informasi saat ini, catatan riwayat pasien pertama kali diterapkan oleh Ibn Sina dan hingga sekarang dipraktekkan di seluruh rumah sakit di dunia. Hukum tatasurya ditemukan oleh Al-Biruni dan masih banyak yang lainnya.

Kemajuan sains dan penemuan-penemuan revolusioner oleh masyarakat muslim itu tidak akan terjadi jika tidak ada tradisi intelektualisme dan penulisan yang mendapatkan dukungan politik dan kebijakan dari para penguasa atau para pemimpin mereka. Keberhasilan saintifik dan peradaban itu pula yang membidani nyala sains dan peradaban Barat setelah keruntuhan Romawi –yang berlangsung selama delapan abad pembelajaran Barat kepada Islam sebelum Barat akhirnya memasuki gerbang renaissance mereka. Dalam hal ini, tidak sedikit para sejarahwan yang menyatakan bahwa Abad Kegelapan Eropa hanya mitos belaka demi menutupi sumbangan Islam yang selama abad-abad itu mengajari Barat banyak sains dan ilmu pengetahuan. Bahkan Islam pula yang mulanya menghidupkan kembali Filsafat Yunani yang sempat dicampakkan Barat.

Kemajuan serupa juga dicapai dalam seni dan sastra. Para pujangga Islam, semisal Hafiz, Omar Khayyam, Rumi, Ferdowsi dan lainnya menginspirasi para pujangga raksasa Eropa seperti Goethe dan Shakespeare. Masyarakat Islam yang sadar diri mengembangkan dan menghidupkan tradisi intelektualisme dan penulisan itu telah mengajari bangsa-bangsa lainnya keelokan puisi, ketekunan saintifik, keindahan prosa, kemegahan arsitektur, kepekaan artistik, dan sudah tentu welas-asih dan solidaritas humanis. Alangkah sayangnya, dan alangkah naifnya, bila kita malah meremehkan manfaat atau kegunaan pelita ilmu pengetahuan dan sains untuk saat ini dan bagi masa depan.”

Cuplikan paper yang dibagikan dan kemudian dipaparkan dalam diskusi itu telah memberikan informasi-informasi yang sangat menarik kepada kita. Sejumlah informasi yang barangkali selama ini kita abaikan dan tidak banyak diketahui oleh kebanyakan dari kita sebagai insan-insan akademis atau pun sebagai para pekerja kebudayaan. Dalam diskusi itu, narasumber juga mengemukakan:

“Pada kesempatan ini, apa yang ingin kita diskusikan dan kita obrolkan adalah bahwa fondasi utama pencerahan, kesadaran dan kemajuan sebuah masyarakat adalah hidupnya ilmu pengetahuan dan kuatnya budaya literasi, sebagaimana dibuktikan oleh suatu jaman beberapa abad lalu ketika imperium Negara muslim melahirkan para pioneer sains dan falsafah hingga seni, dari mulai astronomi hingga ilmu bumi, dari mulai fisika hingga teknologi penerbangan, yang justru kemudian membangunkan dan menginspirasi Barat. Itulah jaman ketika tradisi intelektualisme dan penulisan disokong penuh oleh kekuasaan dan ditopang kebijakan-kebijakan yang berpihak, hingga mereka yang mengajar mendapatkan gaji yang layak.”

Tak hanya itu saja, kita juga bisa belajar menulis esai yang santai tapi tetap menggugah ketika membaca tulisan narasumber, semisal ketika kita membaca paragraf-paragraf awal paper yang dibagikan narasumber diskusi berikut ini: “Tema obrolan ini sebenarnya terbilang klasik, sudah lama sekali jadi bahan perbincangan dan pemikiran. Dari mulai Jamaluddin Al-Afghani hingga Ali Syariati. Dari mulai Mohammad Iqbal hingga Nurcholish Madjid. Jadi tak perlu dibikin repot bila kemudian ada aroma nostalgia –selagi nostalgia itu memacu dan memotivasi kita untuk menjadi lebih baik dan lebih maju. Yang jadi masalah adalah ketika nostalgia membuat orang tak sanggup menerima kenyataan yang menuntut dan mengharuskan keadaan yang tidak mungkin sama dengan masa lalu, semisal kelompok revivalis dangkal yang senantiasa menyeru untuk kembali ke jaman rasul dan para sahabat, tapi gerakan mereka justru membuat masyarakat muslim jadi jumud dan gagap menghadapi arus perubahan yang dahsyat.

Memang, dulu juga saya memahami agama hanya sekitaran bab-bab fiqih dan tafsir semata, sebelum mengalami perjumpaan tekstual dengan khazanah dan buku-buku yang menawarkan cakrawala baru bahwa Islam adalah juga soal bagaimana masyarakat menjadi tercerahkan, mandiri dan sanggup menolong dirinya sendiri, bukan malah menjadi korban despotisme yang justru membajak agama. Sebab, gerakan Rasulullah, demikian diulas oleh Ali Syariati dan Asghar Ali Engineer, sebagai contoh beberapa, berdampak pada revolusi sosial politik, ketika tirani rente dan perbudakan oleh segelintir elit terancam dan akhirnya tergusur kesadaran pencerahan tauhidi yang melarang penghambaan kepada sesama manusia yang menindas dan menghilangkan fitrah manusia.


Bantenhejo.com adalah media jurnalisme warga dan berbasis komunitas. Isi tulisan dan gambar/foto sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Untuk sanggahan silahkan kirim email ke bantenhejo[at]gmail.com.


Tentang Penulis

Kajur di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *