
(Foto: iStock/Getty Images)
Hewan peliharaan, bagi banyak orang, bukan sekadar makhluk lucu yang dipelihara untuk mengusir sepi. Mereka adalah sahabat yang hadir dalam keheningan paling sunyi, penghibur setia dalam malam-malam panjang yang gelap, dan penenang hati saat dunia terasa terlalu berat. Hubungan antara manusia dan hewan peliharaan adalah ikatan yang tidak terukur oleh logika ekonomi atau fungsionalitas semata.
Ia berdasar pada perasaan yang sering tak bisa dijelaskan, tetapi sangat nyata: cinta tanpa syarat. Maka ketika hewan peliharaan meninggal, duka yang muncul bukan pura-pura. Ia datang dengan keheningan, kehilangan, dan kadang rasa hampa yang sulit dijelaskan. Dalam situasi inilah, praktik kremasi atau aquamation terhadap jasad hewan peliharaan tidak bisa dipahami hanya sebagai layanan jasa pengelolaan jenazah semata.
Ia mencerminkan perubahan cara pandang manusia terhadap hewan dari yang dulunya dianggap properti, kini diposisikan sebagai subjek moral, sebagai makhluk hidup yang patut dihormati bahkan setelah kematiannya. Fakta bahwa semakin banyak orang memilih untuk mengkremasi atau melakukan aquamation terhadap hewan kesayangannya menunjukkan bahwa kita sedang bergerak ke arah peradaban yang lebih empatik dan reflektif.
Kremasi hewan, misalnya, tak lagi dianggap sebagai tindakan berlebihan oleh segelintir orang kaya yang terlalu sentimental. Kini, kremasi menjadi praktik yang meluas di berbagai lapisan masyarakat, terutama di kota-kota besar. Selain sebagai bentuk penghormatan emosional, faktor pragmatis juga berperan. Tidak semua orang memiliki pekarangan untuk mengubur hewan peliharaan, sementara membuang jasadnya ke tempat sampah terasa seperti pengkhianatan atas cinta dan kebersamaan yang telah dijalani bertahun-tahun.
Maka kremasi menjadi jawaban. Dalam proses ini, tubuh hewan dibakar secara profesional, abunya kemudian ditempatkan dalam guci atau disimpan sebagai memorial. Beberapa pemilik bahkan menyebarkan abu itu di tempat-tempat kenangan, seperti taman favorit atau halaman rumah tempat mereka biasa bermain. Namun zaman terus bergerak, dan bersamaan dengan kesadaran etis, muncul pula kesadaran ekologis.
Masyarakat mulai menyadari bahwa kremasi, meski secara emosional melegakan, tidak lepas dari jejak karbon. Proses pembakaran menghasilkan emisi gas rumah kaca dan memerlukan energi dalam jumlah besar. Di sinilah aquamation yang juga dikenal sebagai “alkaline hydrolysis” menawarkan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan air dan bahan alkali seperti kalium hidroksida (KOH) atau natrium hidroksida (NaOH), tubuh hewan diurai dalam suhu rendah selama beberapa jam.
Proses ini menghasilkan cairan yang aman dibuang ke sistem sanitasi dan sisa tulang putih yang steril, yang dapat dihancurkan menjadi abu, sama seperti hasil kremasi. Aquamation bukan hanya inovasi teknologi, tetapi juga representasi nilai. Ia menolak kekerasan api dan menggantinya dengan pelukan air, menciptakan proses perpisahan yang lebih tenang dan lambat. Bagi sebagian orang, ini merefleksikan filosofi kembali ke alam secara lembut, mengembalikan tubuh ke elemen dasarnya tanpa kebisingan atau ledakan energi.
Tak heran, metode ini mulai populer di kalangan pemilik hewan yang memiliki kesadaran tinggi terhadap isu lingkungan. Perbedaan esensial antara kremasi dan aquamation terletak bukan hanya pada teknik, tetapi juga pada makna simbolik. Dalam kremasi, pemilik bisa menyertakan benda-benda kesayangan hewan, seperti selimut, mainan, atau bahkan foto bersama. Api menjadi medium yang menyatukan segalanya dalam satu kepulan abu, menciptakan rasa bahwa semua kenangan ikut dilepas dalam satu ritual penuh makna.
Sebaliknya, dalam aquamation, yang bisa diproses hanya tubuh biologis semata. Barang-barang kenangan tidak ikut larut. Dalam konteks ini, aquamation lebih sunyi, lebih fungsional, dan bisa terasa lebih klinis bagi sebagian orang. Namun, justru dalam kesederhanaannya, metode ini mengajak kita menilik kembali esensi kematian itu sendiri: kembalinya tubuh kepada unsur alam secara natural dan tanpa jejak.
Meski demikian, masih ada sebagian masyarakat yang menganggap praktik kremasi atau aquamation terhadap hewan sebagai bentuk sentimentalisme berlebihan, atau bahkan pemborosan. Padahal, di balik ritual ini tersembunyi nilai luhur: pengakuan bahwa semua makhluk hidup berhak dihargai, termasuk dalam perpisahan terakhir. Perhatian terhadap tubuh hewan yang telah wafat adalah perpanjangan dari cinta yang telah diberikan semasa hidupnya.
Ini bukan tentang pemborosan uang atau gaya hidup modern, tetapi tentang penghormatan dan tanggung jawab moral yang melekat dalam relasi manusia-hewan. Peradaban yang sejati bukan hanya ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan sesama manusia, tetapi juga oleh bagaimana kita memperlakukan makhluk hidup yang lemah dan tidak bersuara. Hewan peliharaan, dengan segala keterbatasannya, telah memberi manusia pelajaran berharga tentang kesetiaan, ketulusan, dan kasih tanpa syarat.
Ketika mereka pergi, maka tugas kitalah untuk mengantar mereka kembali ke alam dengan cara yang penuh hormat dan kasih. Baik melalui kremasi yang berapi maupun aquamation yang berair, satu hal tetap sama: cinta tak pernah ikut mati. Ia tinggal di hati, dalam kenangan, dan dalam setiap tindakan yang kita pilih untuk menghormati yang telah pergi.
Dalam dunia yang sering dipenuhi oleh kekerasan dan ketidakpedulian, memilih untuk menghormati kehidupan seekor hewan yang telah meninggal adalah bentuk kecil dari resistensi terhadap kekasaran zaman. Ia adalah pernyataan lirih namun tegas: bahwa semua kehidupan layak dihargai, dan cinta, betapapun bentuknya, layak mendapat perpisahan yang agung.